Saya itu...

Yah, saya hanya seorang anak kuliahan biasa yang ngefans sama Deadpool.

Disini saya akan membagikan cerpen-cerpen orisinil buatan saya sendiri, mungkin juga bisa gambar-gambar saya, curhat, artikel yang saya bikin, pokoknya suka-suka saya lah... (digampaarrr)

Yah, intinya, jadilah pembaca dan pengkritik dan pengomentar yang baik. Kalau ada kesalahan atau kurang setuju dengan pendapat saya sekiranya bisa diberitahu dengan santun. Anda baik, saya baik. Anda jahat, yaudah urusan anda. Hehe..

19 April 2016

Cerpen - Lega



Perasaan tidak enak langsung menyelimutiku ketika pintu apartemen terbuka. Hampir seluruh ruangan dipenuhi cipratan cairan kental berwarna merah kehitaman. Dari pandangan pertama aku sudah tahu kalau itu adalah darah. Rasa mualku semakin menjadi ketika aku melihat genangan darah yang hampir memenuhi setengah lantai ruangan apartemen kecil itu.
“Ted? Kau baik-baik saja?”
“Y-ya. Ya aku baik-baik saja, Sir Rupert,” kataku sambil berusaha untuk tetap berpijak di atas tanah.
Inspektur Rupert melihat wajahku dengan sedikit cemas dan kemudian melanjutkan pemeriksaan lagi. Jujur, makan siangku sudah hampir ku muntahkan tadi jika ia tidak memanggilku.
Aku memberanikan diri memasuki kamar apartemen itu, meskipun sebagian dari diriku menolak dengan keras. Beberapa ahli forensik mengambil sampel darah yang terciprat bebas di dinding dan juga dari genangan darah di lantai. Ferdrick sibuk memotret tempat-tempat yang dianggapnya penting, tak terkecuali mayat perempuan yang terbaring di atas tempat tidur.
Mayatnya terbaring dengan posisi kaki terbuka dan tangannya terikat di kepala tempat tidurnya yang terbuat dari besi. Kausnya-yang sekarang telah berwarna merah karena darah, dan juga celananya masih terpakai di badannya. Hanya sedikit dari bagian sprei yang terkena noda darah.
Wajahnya adalah yang paling parah dan paling menjijikkan. Benar-benar remuk karena beberapa kali dihantam oleh benda tumpul. Kurasa, tak berbentuk adalah kata terbaik untuk menjelaskannya.
“Rupert, aku menemukan sesuatu yang menarik disini,” kata Ferdrick sambil menatap pergelangan tangan mayat itu.
Inspektur Rupert berjalan mendekati Ferdrick dan ikut menatap pergelangan tangan si mayat.
“Astaga. Luka sayatan yang cukup dalam. Oh, yang sebelah juga ada.”
“Yap. Sepertinya luka ini sudah menjelaskan pada kita tentang genangan darah yang ada di lantai.”
“Baiklah, ambil gambar untuk itu dan juga wajahnya. Oh Tuhanku yang agung, siapa yang tega melakukan ini semua?”
“Psikopat, tentunya,” jawab Ferdrick dengan santai sambil memotret mayat wanita itu.
Aku berjalan perlahan. Berjalan mendekati tempat tidur untuk melihat lebih dekat dan jelas. Perasaanku semakin tidak enak ketika tidak sengaja menginjak sebuah gumpalan aneh.
“Astaga!” aku menjerit dengan keras.
“Ted! Astaga, lihat apa yang telah kau lakukan! Kau menghancurkan barang bukti itu, otak itu!"
“M-maafkan aku, Jimm. Aku tidak sengaja,” aku mundur beberapa langkah dan Jimm langsung mengambil gumpalan otak yang hampir lumat karena ku injak.
Oh Tuhan, itu adalah otak si mayat.
Aku berlari keluar dan memuntahkan seluruh isi perutku ke kantong plastik yang kubawa. Aku tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. Aku bukanlah polisi yang cocok dibidang seperti ini. Melihat darah saja aku sudah pusing, apalagi gumpalan otak. Aku takut akan terjadi sesuatu yang buruk jika aku pingsan nanti.
“Seharusnya kau tidak ikut hari ini, Ted,” si kulit hitam Gerald terkekeh sambil menepuk pelan tengkuk ku.
“Setidaknya aku ingin merasakan pengalaman ini sekali dalam seumur hidupku,” dan aku kembali muntah.
“Jangan kau paksa lagi jika memang tidak kuat.”
“T-tapi, Sir Rupert…”
“Sudah, jangan banyak bicara. Gerald, segera antarkan Ted kembali ke markas.”
“Siap, Sir!” dan aku hanya bisa mendesah pelan.
Aku segera membuang kantong yang penuh dengan makan siangku ke dalam tong sampah. Gerald, masih terkekeh, memapahku menuju lift di ujung lorong. Tak berapa lama menunggu, pintu lift terbuka dan kami masuk.
“Kusarankan kau untuk pindah ke bagian yang lebih mudah, jauh dari hal-hal seperti ini kawan,” katanya sambil menekan tombol B.
“Tidak semudah yang kau kira, Ger. Sir Rupert akan membunuhku jika aku meletakkan surat permohonan pindah di mejanya.”
“Entah nasib baik atau nasib malang yang menimpamu. Aku saja tidak percaya kau lulus saat mengikuti test kemarin.”
Aku hanya menaikkan bahuku sambil tersenyum kecil.
“Jangan-jangan kau bohong saat kau mengatakan padaku bahwa kau takut pada darah dan mayat?”
“Demi Tuhan, Ger. Kalau sahabatmu ini berbohong, tidak mungkin aku muntah sebanyak itu di depan matamu.”
Gerald mengangguk pelan dan kemudian terkekeh, mungkin menyadari kebodohan dari pertanyaannya. Aku pun ikut terkekeh, membuang rasa sesak dan mual yang sedari tadi memenuhi perut dan pikiranku. Rasanya lega setelah bisa keluar dari ruangan itu, menghirup udara segar, menggantikan bau besi menyengat yang memuakkan. Begitu lega bisa menatap kembali langit biru dan menghapus semua bayangan gumpalan otak yang menjijikkan.
Benar-benar lega karena tidak akan ada yang tahu kalau yang membunuh Marry Jeffersen, mayat yang begitu memuakkan itu, adalah aku.
Pontianak, 19 April 2016