Bukk!
“Tas apa ini?! Kau kira ini tempat gelandangan berkumpul?!
Ini sekolah elit, kau tau itu?!”, teriak seorang gadis dengan rambut pendek
berwarna coklat kehitaman sambil melempar sebuah tas sekolah yang sudah compang
camping dengan marah.
Si gadis berambut panjang hitam pekat hanya bisa menangis dan
tertunduk. Dia berjongkok dan meraih tasnya tapi dirinya didorong jatuh oleh
satu gadis berkuncir dua berwarna hitam di cat pirang dan merah. “Bahkan tasmu,
tak pantas untuk berada di sekolah ini!”, teriaknya dengan marah.
“T-tapi itu tas satu-satunya yang kupunya.”, jawab gadis
berambut hitam itu dengan lirih. “Kalian sudah merusaknya sampai begitu,
makanya..”, belum sempat gadis itu menyelesaikan perkataannya, gadis tomboy
dengan rambut merah yang dipotong cepak menampar pipi kanannya dengan keras.
Gadis tomboy itu mencengkram wajah si gadis berambut hitam
dengan kasar. “Kau tidak berhak untuk berbicara, suaramu terlalu kotor untuk
kami dengar!”, kata gadis tomboy itu dengan marah yang kemudian mengeluarkan
lollipop yang ia makan dan meludahi wajah gadis berambut hitam itu.
“Hey, Tomoe. Jangan meludahi dia, air liurmu bahkan lebih
berharga daripada nyawanya. Benar ‘kan, Akano?”, kata gadis berkuncir dua itu.
“Tepat sekali. Gadis bodoh dan tolol seperti dia mana ada
harganya. Aku heran kenapa papamu bisa memberinya beasiswa untuk masuk ke
sekolah kita ini, Ritsu.”, kata Akano sambil menjambak rambut hitam gadis itu.
“Yah, hanya karena dia pintar papaku langsung setuju untuk
memberikannya beasiswa. Bodohnya.”, Ritsu melipat tangannya melihat Akano
menjambak rambut gadis itu sampai tubuhnya yang lunglai itu terangkat. Senyum
sumringah terlihat di bibirnya saat wajah kesakitan dan tangisan gadis itu
semakin menjadi.
“Menangislah sekencang-kencangnya, Hanao kecil. Menangislah!
Tidak ada yang akan mendengarmu walaupun kau menangis sampai pita suaramu
putus!”, teriak Tomoe marah sambil menghantamkan tinjunya dengan keras ke perut
Hanao. Ia terbatuk, darah kehitaman mengalir keluar dari tepi mulutnya.
“Oh, lihat! Ia berdarah! Sebentar, akan kuambilkan tisu
untukmu.”, kata Ritsu sambil berjalan mendekati tas lusuh Hanao kemudian
membawanya ke hadapan Hanao yang masih dalam keadaan dijambak.
“Dimana ya tisunya? Ah, tas ini terlalu berantakan dan kotor.
Biar kurapikan untukmu ya, Hanao.”, Ritsu membalikkan tas Hanao dan
barang-barang yang ada di dalam tasnya jatuh berhamburan. Akano dan Tomoe
tertawa puas melihat barang-barangnya jatuh berserakan di tanah. Hanao hanya
bisa menangis pasrah.
“Oh, teman-teman. Aku punya ide yang bagus.”, kata Tomoe
sambil mengeluarkan sebuah pemantik api dari saku sweater nya. “Bagaimana kalau
kita menunjukkan sebuah sulap kepada teman baik kita, Hanao ini?”, ia kemudian
menyalakan pemantik apinya.
“Ide yang bagus, Tomoe! Kita akan menunjukkan ke Hanao bahwa
barang-barangnya akan menghilang dalam sekejap!”, kata Ritsu dengan sangat
bersemangat.
“Yah, lakukan itu Tomoe! Aku akan pastikan ia membuka mata
untuk melihat sulap terhebat dari kita!”, Akano menghempaskan tubuh Hanao ke
tanah, membiarkan Hanao duduk berlutut, kemudian menjambak kembali rambutnya
sampai kepalanya terangkat.
“Jangan! Jangan bakar itu! Aku mohon pada kalian. Itu
satu-satunya yang kupunya! Kumohon!”, Hanao tak berhenti menangis dan berusaha
menutup matanya, tapi Akano menamparnya dengan keras.
“Jaga matamu terbuka atau kucungkil matamu!”, kata Akano
kasar. Hanao mengangguk lirih sambil terus menangis.
Tomoe menjatuhkan pemantik apinya tepat di atas buku
pelajaran Hanao yang berserakan di tanah. Api perlahan menjilati bagian dari
buku-buku itu dan kemudian merambat ke barang-barang yang ada disekitarnya,
termasuk tas Hanao. Ia hanya bisa menangis histeris melihat barang-barangnya
habis dilalap api. Mereka bertiga tertawa puas melihat kobaran api yang dengan
cepat melahap barang-barang Hanao yang berserakan di tanah.
“Baiklah, pertunjukan sudah selesai teman-teman. Ayo kita
pulang dan tinggalkan sampah ini disini saja.”, kata Ritsu sambil menepuk-nepuk
telapak tangannya seperti membersihkannya dari debu.
“Benar, ayo kita pulang. Dia tidak akan bisa mengotori
sekolah kita lagi besok.”, kata Tomoe sambil tertawa puas.
Akano melepaskan rambut Hanao yang ia jambak dengan kasar.
“Dasar bedebah, jangan pernah lagi kau menginjakkan kaki di sekolah kami! Kalau
sampai aku melihatmu di sekolah besok pagi, maka kau akan menerima hukuman yang
lebih parah dari ini, kau mengerti?!”, kata Akano marah sambil mencengkram
wajah Hanao dengan kasar. Hanao hanya bisa mengangguk pasrah sambil menangis.
Akano kemudian melepaskan cengkramannya dengan kasar dan
pergi meninggalkan Hanao dengan kedua temannya. Hanao tak henti-hentinya
menangis sambil berusaha memadamkan api menggunakan jas sekolahnya yang usang.
Api perlahan padam dan Hanao berusaha menyelamatkan benda apapun yang masih
bisa diselamatkan olehnya.
Buku-buku pelajarannya hangus terbakar, begitu juga dengan
tasnya. Dompet dengan uang yang ia hasilkan dari pekerjaan paruh waktunya juga
hangus terbakar. Yang bisa ia selamatkan hanya kartu pelajarnya dan sebuah
kotak kecil yang terbuat dari aluminium dengan ukiran bunga mawar berwarna
hitam di atasnya. Kotak itu adalah pemberian terakhir dari ibunya sebelum
beliau meninggal sewaktu Hanao masih duduk di bangku SMP.
“Semuanya hancur, masa depanku hancur. Mereka sudah
menghancurkan semuanya, bu. Semua yang aku punya mereka hancurkan.”, kata Hanao
lirih sambil memeluk kotak itu.
“Apakah aku harus menyusulmu sekarang, bu? Aku sudah tidak
kuat lagi. Aku ingin mati saja bu.”, Hanao menangis tersedu-sedu.
Tak sengaja ia menjatuhkan kotak kecil yang dipeluknya. Kotak
itu terpental beberapa kali dan tutupnya terbuka. Terdapat sebuah kertas yang
terlipat kecil keluar dari kotak itu. Hanao memandang bingung kertas itu dan
mengambilnya kemudian membuka lipatan kertas itu. Ia terkejut mendapati ada
sebuah simbol lingkaran yang dipenuhi tulisan-tulisan aneh dan terdapat
mantra-mantra aneh di sebelah simbol itu.
“Ini apa? Kenapa Ibu menitipkan ini padaku?”, Hanao menatap
bingung kertas itu. Ia semakin bingung membaca sebuah kalimat yang tertulis di
atas simbol itu. “Mantra Bunga Hitam? Apa ini?”, ia kemudian membalik kertas
itu dan mendapati sebuah pesan yang ditulis tangan oleh ibunya.
Hanao, ibu tahu saat
ini akan tiba. Biarkan kematian yang menyelesaikan semua. Biarkan kematian yang
menghancurkan keangkuhan. Biarkan kematian menelan kehidupan. –Ibu
Seketika itu juga mata Hanao melebar, sorot matanya penuh
dengan amarah dan kebencian. Bayangan akan kejadian penyiksaan yang dilakukan
oleh Akano, Ritsu, dan Tomoe memenuhi pikirannya. “Aku akan menjemput mereka
dalam kematian.”, kata Hanao penuh dendam.
“Selamat pagi!”, Akano menyapa Ritsu dan Tomoe yang sedang
mengobrol di bangku mereka. Akano meletakkan tasnya di atas meja kemudian
melirik ke arah bangku kosong di sudut kelas.
“Dia belum datang?”, tanya Akano pada kedua sahabatnya.
“Entahlah, mungkin dia sudah tidak berani lagi setelah kejadian kemarin.”,
jawab Tomoe acuh sambil mengemut lolipopnya.
“Mungkin, kemarin kita sudah sangat keterlaluan.
Sampai-sampai dia tidak mau masuk sekolah lagi.”, kata Ritsu dengan wajah
sedikit cemas.
“Hey, sudahlah! Bukannya memang itu tujuan kita? Untuk
membuatnya keluar dari sekolah kita ini. Buat apa lagi kau cemas, Ritsu?”,
Akano memandang sinis ke arah Ritsu. “Oh ya, benar. Maafkan aku.”, kata Ritsu
sambil tertawa kecil. Tomoe hanya menggeleng melihat kelakuan salah satu
sahabatnya yang plin plan itu.
Bel sekolah berdentang nyaring memenuhi gedung, tanda
pelajaran akan dimulai. Para murid yang tadinya berbicara riuh terdiam saat
suara pintu kelas terbuka. Wali kelas mereka, Bu Oikichi, melangkah masuk,
diikuti dengan seorang anak kecil berpakaian serba putih dan mengenakan sebuah
kain putih di kepalanya untuk menutup wajahnya. Anak itu membawa sebuah vas
bunga kecil dengan bunga lily putih di tangan kirinya dan foto Hanao di tangan
kanannya . Semua murid menatap bingung dan aneh ke arah anak kecil itu.
“Hari ini kita mendapatkan kabar duka cita dari Hanao Kurogame.
Hanao ditemukan tewas dirumahnya kemarin malam. Polisi mengatakan ia tewas
karena kehabisan darah, diduga kuat Hanao melakukan bunuh diri karena telah
menjadi korban penindasan di sekolah.”, mata Akano, Ritsu, dan Tomoe
terbelalak. Keringat dingin mulai membasahi tubuh mereka.
“Dan ini adalah adik dari Hanao, yang akan memberikan
penghormatan terakhir kepada kakaknya pada hari ini. Mari kita bersama-sama
berdoa untuk arwah Hanao, semoga tenang di alam sana.”, mereka semua
menundukkan kepala dan anak itu mulai berjalan ke arah bangku Hanao.
Akano menatap anak itu saat ia melewati bangku Akano. Anak
itu berhenti sejenak, kemudian tersenyum pada Akano. Bibir kecilnya seakan
mengucapkan sesuatu tapi tak ada suara yang terdengar dari mulutnya. Akano
terpaku, tubuhnya bergetar ketakutan. Anak itu kemudian berjalan kembali menuju
bangku Hanao, meletakkan vas bunga dan foto Hanao di atas mejanya dan berdoa
sejenak di samping mejanya. Setelah berdoa, anak itu berjalan kembali ke depan
kelas dan berdiri di samping meja guru.
“Baiklah, untuk waktu selanjutnya akan diserahkan kepada guru
pelajaran yang bersangkutan.”, anak itu membungkuk hormat kemudian menatap ke
arah Akano, Ritsu, dan Tomoe. Ia tersenyum dan meninggalkan ruang kelas bersama
Bu Oikichi.
“A-apa yang sudah kita lakukan padanya?”, kata Ritsu dengan
muka pucat pasi. “Hey, tenanglah Ritsu. Itu bukan kesalahan kita. Dia yang
mengakhiri hidupnya sendiri, bukan kita yang membunuhnya. Benar ‘kan, Akano?”,
Tomoe mencoba menenangkan Ritsu yang ketakutan dan memandang ke arah Akano.
Akano tidak memberikan respon apapun, tidak memalingkan mukanya ataupun
menjawab.
“Hey Akano, kau tak apa?”, saat Tomoe ingin memegang pundak
Akano, ia menepisnya dengan cepat dan memandang ketakutan ke arah Tomoe. Muka
Akano pucat pasi dan dipenuhi keringat dingin. Tubuhnya bergetar ketakutan
seperti baru melihat kejadian mengerikan. Tomoe terkejut memandang Akano sambil
memegang tangannya yang sakit karena ditepis Akano.
“A-aku baik-baik saja. Ya, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Benar. Tidak ada yang perlu kita khawatirkan.”, kata Akano
dengan suara bergetar.
“Akano? Kau yakin kau baik-baik saja?”, tanya Ritsu khawatir.
“Ya..Ya! Tentu kita akan baik-baik saja! Bukan kita
pembunuhnya ‘kan? Iya ‘kan?”, Akane menatap kedua temannya bergantian. Matanya
membulat ketakutan. Ritsu dan Tomoe hanya bisa memandang Akano dengan tatapan
bingung.
Tomoe melihat guru pelajaran matematika, Pak Mitsumoto,
memasuki ruangan kelas. Mereka kembali ke posisi duduk mereka seperti semula.
Akano masih mengulangi kata-kata yang sama sambil meremas erat jari-jari
tangannya yang berkeringat.
“Semua akan baik-baik saja.”
“Semua akan baik-baik saja..”
“Dia akan membunuh kalian.”, Akano mendengar suara bisikan
persis di sebelah telinganya. Perkataan itu juga terucap di bibir adik Hanao
saat melintasinya. Tiba-tiba Akano berteriak histeris dan meronta tak
terkendali. Suasana di kelas pun berubah menjadi riuh dan panik.
“Cepat! Bawa dia ke UKS! Tahan tangannya! Bawa dia segera!”
Akano perlahan membuka matanya dan mendapati Ritsu dan Tomoe
memperhatikannya dengan wajah khawatir. “Syukurlah kau sudah sadar, Akano!”,
Ritsu bernapas lega dan menghapus air matanya.
“Aku di mana? Kenapa aku bisa ada di sini? Apa yang
terjadi?”, tanya Akano bingung sambil menerawang ke sekitar ruangan.
“Kau sedang ada di UKS. Tadi kau berteriak tiba-tiba dan
meronta tak terkendali seperti orang kerasukan setan. Makoto dan Tsuota yang
membopongmu ke sini tadi.”, jawab Tomoe sambil duduk di tepi kasur Akano.
“Benarkah? Seingatku tadi Bu Oikichi datang ke kelas untuk
mengumumkan kematian Hanao bersama adiknya Hanao. Setelah itu..”, Akano terdiam
berusaha mengingat apa yang terjadi.
“Setelah itu? Apa? Kau tidak ingat?”, tanya Ritsu khawatir.
“Setelah itu adiknya Hanao berjalan melewatiku dan aku
menatapnya. Kemudian pandanganku mulai kabur dan menjadi gelap. Aku tidak ingat
kalau aku tadi berteriak dan meronta seperti orang kesurupan.”, kata Akano
bingung. Ritsu dan Tomoe hanya bisa menatap bingung sahabatnya itu.
“Oke sudahlah kita lupakan saja. Yang penting Akano sekarang
sudah tidak apa-apa.”, kata Ritsu sambil memeluk Akano.
“Ya, benar. Tapi, aku penasaran. Bukannya Hanao tidak
mempunyai sanak saudara? Setahuku dia anak tunggal.”, kata Tomoe.
“Eh, benar juga. Setelah ibunya meninggal, dia tinggal
sendirian di pemukiman padat kumuh di ujung kota karena rumahnya dulu dijual
untuk membayar pemakaman ibunya.”, Ritsu mengiyakan pernyataan Tomoe.
“Kalau begitu, anak berbaju putih tadi yang mengaku adiknya
Hanao itu siapa? Tidak mungkin kalau dia itu hantu.”, kata Akano tidak percaya.
Tiba-tiba pintu UKS terbuka dengan kasar dan anak kecil yang mereka bicarakan
tadi berjalan masuk dan berdiri di hadapan mereka.
“Aku memang bukan saudaranya. Tapi aku mengenalnya dengan
baik.”, suara anak itu terdengar seperti suara wanita dewasa. Bulu kuduk mereka
bertiga meremang.
“S-siapa kau?!”, tanya Tomoe ketakutan. Tiba-tiba pintu dan
jendela tertutup kuat, suasana berubah menjadi mencekam. Tentakel-tentakel
semerah darah menjalar keluar dari bawah gaun putih anak itu dan perlahan
memenuhi ruangan itu.
“Aku adalah Death, sang kematian! Dia yang mengirimku ke sini
untuk menjemput kalian!”, suara Death menggema dan menggetarkan ruangan itu.
Retakan demi retakan menjalar keseluruh ruangan dan langit-langit ruangan itu
mulai berjatuhan. Death tertawa dengan keras, getaran semakin mengguncang
ruangan itu membuat ketiga gadis itu panik dan ketakutan.
“Aku belum mau mati! Tidak! Bukan aku yang membunuhnya!
Jangan bunuh aku!”, teriak Ritsu histeris. Tawa jahat Death semakin menggema
dan menggetarkan ruangan itu. “Tidak, kalian tidak akan mati, setidaknya untuk
sekarang. Tugasku hanya mengantarkan kalian pada permainannya dan menikmati
permainan yang akan kalian mainkan.”, seketika itu juga suara Death berubah
menjadi seperti suara gadis kecil.
“Permainan apa?! Apa maksudmu?!”, teriak Akano dalam
kepanikan. Death hanya tertawa, suaranya berubah menjadi gabungan antara suara
anak kecil dengan wanita dewasa yang semakin membuat ketiga gadis itu
ketakutan. Tentakel-tentakelnya menyergap tubuh ketiga gadis itu dan mengangkat
mereka ke udara. Lantai ruangan itu mulai ambruk dan berjatuhan ke bawah,
menyisakan sebuah lubang yang diliputi kegelapan kekal seperti lubang hitam
yang menyedot apapun yang mendekatinya. Dinding ruangan itu seperti dibungkus
oleh air terjun darah yang mengalir turun menuju lubang hitam.
“Nikmatilah perjalanan kalian, para gadis laknat.”,
Tentakel-tentakel Death melempar tubuh mereka ke dalam lubang hitam. Mereka
hanya bisa berteriak saat tubuh mereka terhempas dan tersedot ke dalam lubang
hitam yang tidak tahu akan membawa mereka ke mana.
“Uhh..”, Akano membuka
matanya sambil mengerang kesakitan tapi yang dapat dilihat olehnya hanyalah
kegelapan kelam yang menyelimuti sekitarnya. Tercium juga bau belerang yang
menyengat di tempat itu. Ia terduduk di dalam kegelapan itu, berusaha
menggerakkan tangannya untuk meraba sekitarnya, tapi tiba-tiba terdengar suara gemerincing
rantai besi yang terseret di lantai.
“Oh tidak. Tanganku, kenapa bisa begini?”, kata Akano sambil
meraba pergelangan tangannya yang terkunci rapat oleh borgol berantai besi.
“Aku di mana? Ritsu! Tomoe! Kalian di mana?!”, Akano berusaha berteriak
memanggil kedua sahabatnya tapi tidak ada jawaban.
“Ritsu! Tomoe! Kalian di mana?! Jawablah!”, teriak Akano
panik. “Akano, kau di mana?! Aku tidak bisa melihat apapun dan tanganku
terborgol erat oleh rantai!”, suara Ritsu samar-samar terdengar dari sebelah
kiri Akano.
“Tanganku juga terborgol erat dan di sini gelap sekali! Dan
bau belerang ini begitu menyengat!”, teriakan Tomoe terdengar samar-samar di
sebelah kanan Akano.
”Apa kalian terluka?! Kalian tidak apa-apa?!”, teriak Akano
sambil menoleh ke arah kiri dan kanannya yang diselimuti kegelapan.
“Ya, hanya saja aku mau muntah! Bau belerang ini sunggu tidak
enak!”, balas Tomoe.
“Aku juga baik-baik saja! Tapi tempat ini panas dan begitu
bau! Aku mau keluar dari sini!”, teriakan Ritsu bergetar sambil menahan
tangisannya.
“Syukurlah kalian tidak apa-apa! Aku akan menemukan cara
untuk menolong kalian dan keluar dari sini! Kalian tenanglah!”, jawab Akano
setenang mungkin. Akano meraba borgol yang mengikat pergelangan tangannya,
tidak ada lubang kunci sama sekali. Kemudian ia berusaha menarik tangannya
keluar dari lubang borgol itu tapi hasilnya nihil. Akano menarik-narik rantai
borgol itu dengan kuat, berharap agar rantai itu bisa putus, tapi hasilnya juga
sama. Tampaknya tidak ada yang bisa memutuskan rantai itu dan membuka
borgolnya.
Saat Akano masih sibuk mencari cara untuk melepaskan diri,
tiba-tiba terdengar suara seperti gulungan film berputar cepat dan layar dengan
cahaya redup muncul perlahan di hadapan Akano. “Hey, apa kalian melihat cahaya
itu?!”, teriak Akano bertanya pada kedua sahabatnya.
“Ya aku melihatnya! Cahaya apa itu?! Kita seperti sedang
menunggu sebuah film diputar dari cahaya itu!”, jawab Ritsu.
“Aku juga melihatnya! Dan tampaknya memang ada film yang akan
ditampilkan dari sana!”, selang beberapa detik dari jawaban Tomoe, sebuah
tayangan hitung mundur muncul di layar itu. Saat hitung mundur menunjukkan
angka terakhir, sebuah film dengan rekaman amatir mulai diputar. Tampak Akano,
Ritsu, dan Tomoe sedang tertawa sambil menyobek sebuah buku diari bersampul
merah mudah.
“Ini..”, Akano terpaku melihat film itu. Kejadiannya persis
seperti saat di mana mereka mengerjai Hanao. Dan rekaman kamera itu seperti
direkam dari sudut pandang Hanao.
“Dasar gadis bodoh!
Mana ada lagi orang yang menulis di buku diari seperti dirimu! Dasar udik!”, kata Akano dengan marah sambil
melempar sobekan buku diari itu ke wajah Hanao.
“Sudah miskin, udik
pula! Hey, sadarlah! Kau tidak pantas ada di sini, bersekolah dengan kami!
Dasar sampah!”,
teriak Ritsu dengan berkacak pinggang sambil menunjuk ke arah Hanao dengan
marah.
“Tapi, tapi aku..”, suara Hanao terdengar ketakutan
sambil melihat mereka bertiga.
“Tapi apa, hah? Apa?!”, bentak Tomoe sambil menjambak rambut
Hanao dengan kasar. Hanao meringis kesakitan sambil menggeleng.
“Sudahlah Tomoe, tidak perlu menjambaknya.”, kata Akano.
“Ada apa Akano? Kau masih menaruh kasihan dengan mantan
sahabat kecilmu ini?”, Tomoe tertawa dan menjambak rambut Hanao lebih kuat.
Akano hanya terdiam sambil menatap Hanao yang mulai berlinang air mata, memohon
pertolongannya.
“Hey, Akano. Tidak perlu kasihan dengan belatung ini.
Lagipula, kau kan sudah ada kami. Kau kaya, cantik, dan pintar. Tidak perlu kau
bergaul dengan orang macam dia.”, Ritsu memegang bahu Akano sambil menatap
jijik ke arah Hanao.
“Akano..”, kata Hanao lirih disela tangisannya. Tomoe
menghempaskan tubuh Hanao dengan kasar. “Dasar bedebah! Masih tidak kapok
juga?!”, bentak Tomoe sambil menginjak-injak tubuh Hanao.
“Sudah cukup! Ayo pergi!”, bentak Akano sambil berjalan pergi
meninggalkan Hanao. Ritsu menatap aneh ke arah Akano dan menyusulnya. Tomoe
berhenti menginjak Hanao dan menatap punggung kedua temannya yang berjalan
pergi. “Awas kau, aku belum selesai denganmu.”, katanya pada Hanao sambil
berlari menyusul Akano dan Ritsu.
Rekaman itu terpotong dan berganti ke rekaman lain yang
menunjukkan kekejaman mereka bertiga menyiksa dan mengerjai Hanao. Di rekaman
itu, Akano yang awalnya tidak berani mengerjai Hanao secara fisik semakin lama
berubah menjadi kasar dan sadis. Ia tidak segan-segan menaruh paku pada sepatu
Hanao yang menyebabkan kaki Hanao terluka parah di dalam satu rekaman, Ia juga
terlihat menendang dan memukul Hanao hingga memar pada beberapa rekaman yang
diputar.
Rekaman itu tiba-tiba terhenti, kemudian terputar kembali
dengan kejadian penyiksaan terakhir mereka pada Hanao sebelum ia meninggal.
Terlihat ketiga gadis itu sangat menikmati momen dimana mereka membakar habis
tas Hanao beserta isinya dan memaksa Hanao untuk melihatnya. Rekaman itu
terhenti dan layar dengan cahaya putih yang redup kembali tampak di hadapan
mereka.
Akano menangis tersedu-sedu melihat kelakuannya yang tidak
manusiawi kepada Hanao di rekaman itu. Ia tidak menyangka bahwa ia bisa sekejam
itu kepada sahabat kecilnya yang selalu membantunya pada saat ia masih di panti
asuhan dulu. Bayangan masa kecilnya bersama Hanao terputar kembali di otaknya
yang membuatnya begitu menyesal atas perlakuan kejamnya pada Hanao yang tidak
bersalah itu.
“Maafkan aku, Hanao. Maafkan aku.”, kata Akano lirih.
“Maaf katamu?”, tiba-tiba suara Hanao terdengar memenuhi
ruangan gelap itu. Tampak obor-obor kayu disekitar ruangan itu seketika menyala
menerangi ruangan itu. Mereka bertiga berdiri di atas sebuah lantai semen
berbentuk persegi dengan ukuran setiap sisinya sekitar 2 meter yang terpisah
dengan jarak yang cukup jauh. Di bawah mereka terdapat lautan belerang panas
yang melelehkan setiap benda yang jatuh ke dalamnya. Layar yang ada di hadapan
mereka perlahan menghilang bagaikan tertelan udara dan tampak sosok Hanao
berdiri menapaki udara sambil membawa sebuah boneka kelinci lusuh.
“H-hanao? Kau bukannya..”, kata Tomoe terbata-bata tak
percaya. Ritsu hanya bisa ternganga, mukanya tampak sangat pucat.
Hanao berjalan mendekati Akano. Tubuhnya yang kurus kering hanya
dibalut gaun putih lusuh dan di sekujur lengan dan kakinya yang panjang penuh
dengan sayatan pisau yang masih mengeluarkan darah berwarna kehitaman. Matanya
hitam dengan pupil berwarna putih menatap tajam ke arah Akano. Tubuh Akano
bergetar hebat karena ketakutan luar biasa yang ia rasakan saat matanya bertemu
dengan mata Hanao.
“Hanao..”, hanya kata itu yang bisa keluar dari bibir pucat
Akano.
“Pasti kau yang menyebabkan ini semua, ya kan?!”, suara Tomoe
mulai meninggi disela ketakutannya.
“Y-ya! Kenapa kau membawa kami kesini? Tidak cukupkah kau
menyusahkan kami saat kau hidup?! Keluarkan kami sekarang!”, teriak Ritsu
ketakutan.
Hanao tiba-tiba tertawa seperti orang tidak waras. Tawanya
yang menyeramkan itu menggema memekakkan telinga. “Melepasmu? Kalian?”, Hanao
dalam sekejap mata muncul di depan Ritsu dan menjambak rambutnya. Darah yang
terus keluar dari luka di pergelangan tangannya menetes di wajah Ritsu yang
pucat. Ritsu mulai menangis ketakutan tapi tangisannya malah membuat tawa Hanao
semakin menggila.
“Jika kalian bisa memenangkan permainanku, aku akan
melepaskan kalian hidup-hidup.”, Hanao menatap lekat-lekat mata Ritsu. Ritsu
menutup matanya, berusaha untuk tidak menatap monster di depannya.
“Permainan apa?! Berhentilah bermain-main dan cepat lepaskan
kami!”, teriak Tomoe marah. Hanao melihat tajam ke arah Tomoe kemudian
melepaskan rambut Ritsu yang ia jambak dengan kasar. Seketika itu juga ia
berdiri di hadapan Tomoe dan menamparnya dengan keras. Pipi Tomoe merah padam
dan dari mulutnya mengeluarkan darah. Hanao seketika itu menghilang dan muncul
di tempat ia pertama kali menampakkan diri.
“Bila kalian menang, maka aku lepaskan. Bila kalian kalah,
maka kematian akan menjemput kalian.”, kata Hanao tenang sambil memeluk boneka
kelinci lusuhnya. Mereka bertiga bergidik ketakutan. Ritsu mulai menangis
dengan keras sementara Tomoe mengerang marah. Akano hanya bisa menangis pasrah
pada keadaan yang ia alami.
Hanao mendekat ke arah Akano dengan wajah sedih. “Oh,
sahabatku. Jangan takut. Karena kau tak akan mati.”, katanya sambil menghapus
air mata Akano. “Tapi kau akan jadi wadahnya.”, tubuh Akano terangkat naik oleh
rantai yang membelenggu tangannya dan bergerak maju ke tengah-tengah tempat itu
diiringi tawa mengerikan yang keluar dari mulut Hanao.
“A-apa ini? Apa yang akan kau lakukan padaku, Hanao? Tolong
lepaskan aku, kumohon.”, Akano memohon pada Hanao sambil menangis. Hanao hanya
melihatnya sambil terus tertawa.
“Lepaskan dia! Dasar kau bedebah!!”, teriak Tomoe marah.
“Lepaskan Akano! Lepaskan dia! Lepaskan kami!”, Ritsu
menangis histeris.
Hanao berhenti tertawa tepat setelah tubuh Akano berada di
tengah-tengah tempat itu. “Mari kita bersenang-senang.”, bibirnya membentuk
sebuah seringai yang mengerikan.
Tiba-tiba sebuah meja yang terbuat dari tulang belulang dan
daging manusia muncul di depan Tomoe dan Ritsu. Di meja itu terletak delapan
buah anak panah kecil dengan simbol aneh yang berbeda di sisi anak panah itu. Kedua
rantai yang memborgol mereka terlepas dari pergelangan tangan mereka.
“Ambillah satu dari delapan anak panah itu dan lemparkan ke
bagian tubuh Akano yang kau mau. Anak panah itu memiliki simbol masing-masing
yang melambangkan penyiksaan yang nantinya akan diterima oleh lawan kalian
dibagian tubuh tempat anak panah itu mendarat.”, kata Hanao dengan tenang.
“Jika kalian ingin hidup, maka korbankan nyawa musuhmu.”,
mereka berdua bergidik ketakutan, tidak berani mendekat untuk mengambil anak
panah itu.
“Tidak, aku tidak akan melakukannya! Mana mungkin aku
menyakiti dan membunuh sahabatku sendiri?”, kata Tomoe panik. Sebuah senyum
menyeramkan tersirat di wajah Hanao.
“Mungkin kita mulai dari Ritsu.”, Hanao mempersilahkan Ritsu
untuk maju ke podium yang ada di tengah-tengah mereka. Ritsu berdiri membatu
sambil melihat ke anak-anak panah yang ada di meja itu. “Tidak mungkin Ritsu
akan melakukannya. Benar ‘kan Ritsu?”, Tomoe menatap Ritsu dengan penuh harap.
“Ritsu, kau tidak akan melakukannya bukan?”, tanya Tomoe
sekali lagi pada Ritsu. Ia hanya terdiam. Namun perlahan tangannya yang
bergetar ketakutan menggenggam sebuah anak panah dengan simbol tali dan
memandang kedua temannya secara bergantian.
“Maafkan aku, teman-teman. Aku harus keluar dari sini. Aku
tidak mau mati.”, kata Ritsu lirih. “Maafkan aku, Akano.”, Ritsu memejamkan
matanya sambil melempar anak panah itu ke tubuh Akano secara acak. Anak panah
itu mendarat di betis kanan Akano diikuti rintihan kesakitan Akano. Darah segar
mengalir keluar dari tusukan anak panah itu.
“Simbol tali, berarti ‘Tarikan’.”, kata Hanao tanpa melirik
simbol yang ada di anak panah itu. Tiba-tiba sebuah tali tebal yang seperti
terbuat dari gabungan urat nadi manusia mengikat kuat kaki kanan Tomoe. Tomoe
berteriak ketakutan dan berusaha melepaskan jeratan tali itu. Tali itu kemudian
menjalar dan mengikat kuat betis Tomoe dan menariknya hingga terputus. Tomoe
berteriak kesakitan dan menangis histeris melihat betisnya tertarik putus dari
sendi lututnya oleh tali menjijikkan itu. Darah segar membanjiri lantai tempat
Tomoe tersungkur. Akano dan Ritsu hanya bisa menjerit dan menangis histeris
melihat kejadian mengerikan itu berlangsung tepat di depan mata mereka.
“Apa yang kau lakukan padaku, Ritsu! Mengapa kau begitu
tega?”, teriak Tomoe histeris. Ritsu hanya bisa menangis sambil mengucapkan
maaf berulang-ulang.
“Hanao, tolong hentikan ini. Aku mohon Hanao, lepaskan
kami.”, kata Akano lirih memohon pada Hanao. Hanao tertawa cekikikan.
“Berhenti? Kesenangan ini baru saja dimulai!”, teriak Hanao
penuh kemenangan. Tomoe bangkit berdiri dengan susah payah, menatap penuh
dendam ke arah Ritsu. Ia mengambil satu anak panah secara acak dan
melemparkannya sekuat tenaga ke arah Akano. Anak panah itu mendarat tepat di
bola mata kiri Akano. Akano hanya bisa menjerit kesakitan dan darah segar
mengalir dari bola matanya yang tertancap anak panah dengan simbol trisula.
“Simbol trisula, berarti ‘Tusukan’.”, kata Hanao tenang.
Ritsu mulai panik dan berusaha menutup matanya dengan tangan. Tiba-tiba tali
menjijikkan itu keluar, mengikat dan menahan kedua tangan Ritsu. Ritsu meronta
dengan sekuat tenaga agar tali itu terlepas tapi tali itu malah mencengkramnya
lebih kuat. Sebuah trisula yang terbuat dari besi dengan ujung yang membara
melayang mendekati mata Ritsu. Ritsu berusaha menutup matanya tapi kelopak
matanya tertahan oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Trisula itu terayun dan menusuk bola mata kanan Ritsu yang
membuatnya berteriak kesakitan dan mengalami kejang hebat. Darah mengalir turun
dari mata kanan Ritsu bagaikan air. Trisula itu kemudian tertarik keluar
bersama dengan bola mata Ritsu yang sudah tidak berbentuk lagi. Tali itu
melepaskan cengkramannya pada tangan Ritsu dan menghilang dalam kegelapan,
membiarkan Ritsu jatuh tergeletak lemas di lantai.
“A-apakah dia sudah mati?”, Tomoe melihat ke arah Ritsu,
wajahnya dipenuhi ketakutan. Ritsu yang tergeletak lemas berusaha bangkit
berdiri sambil memegangi bagian kanan wajahnya yang berlumuran darah. Ia
menatap Tomoe dengan tatapan kosong yang membuat Tomoe bergidik takut. Kemudian
tangannya menggapai salah satu anak panah dengan simbol pedang dan ia membidik
anak panah tersebut ke tubuh Akano.
Permainan itu berlangsung singkat tapi bagaikan selamanya
untuk Tomoe dan Ritsu. Tomoe bukan hanya kehilangan betis kirinya, ia juga
kehilangan tangan kanannya dan setengah tangan kirinya. Perutnya pun terlihat
seperti daging yang mencair karena cairan asam, memperlihatkan bagian dalam
tubuhnya yang sedikit terburai keluar. Ajaibnya ia masih bisa bertahan walau
dengan kondisi separah itu.
Ritsu juga tak berbeda jauh kondisinya dengan Tomoe. Ia sudah
tak bisa berdiri karena kedua kakinya kehilangan semua otot yang bisa
menopangnya untuk berdiri. Hanya tinggal tulang putih berbalut darah kering.
Sisa ototnya berserakan di lantai berbentuk seperti irisan daging dan kulitnya
tersayat terbuka dan menggantung di mata kakinya seperti sepatu boot yang
setengah terpakai. Setengah wajahnya sudah seperti patung anatomi tubuh, tidak
ada kulit yang membalutnya, bekasnya seperti habis tertarik paksa oleh
tempatnya.
Walaupun tatapan mata Ritsu sudah hampir redup, tapi tangan
kirinya menggenggam erat panah terakhir yang ia punya. Dengan tenaga
terakhirnya ia berusaha bangkit dan melemparkan anak panah terakhirnya ke tubuh
Akano yang dipenuhi anak panah yang tertancap di tubuhnya.
Anak panah itu tepat mendarat di dada kiri Akano dibarengi
dengan rintihan kesakitan Akano. “Simbol tangan.”, sebuah senyum mengerikan
tersirat di wajah Hanao. Ia mulai mendekati Tomoe yang tergeletak lemah di
lantai, mencengram lehernya dengan tangannya yang kurus dan mengangkat tubuh
Tomoe seperti mengangkat sebuah boneka.
“Berarti ‘Cengkraman’.”, kata Hanao sambil menusukkan
tangannya ke arah dada kiri Tomoe dan mencengkram keluar jantungnya. Mata Tomoe
terbelalak, melihat jantungnya tertarik keluar dan perlahan berhenti berdetak.
Ia melihat ke arah Hanao yang tersenyum lebar, perlahan tatapan matanya meredup
dan pupil matanya melebar.
“Dia mati?”, tanya Ritsu dengan lemas. Hanao melemparkan
tubuh Tomoe yang sudah tidak bernyawa ke dalam lautan belerang yang
meletup-letup di bawah mereka. Tubuh Tomoe meleleh, menyatu dengan cairan
belerang yang perlahan menelannya masuk ke dalam.
“T-Tomoe.. Tidak.. Ritsu, kau telah membunuhnya!”, teriak
Akano histeris. Ritsu tertawa, perlahan tertawanya semakin nyaring terdengar.
“Aku menang!”, teriaknya dengan penuh kebahagiaan. “Aku me-“,
tiba-tiba Hanao mencengkram leher Ritsu dengan kuat dan tersenyum lebar
padanya.
“Selamat atas kemenanganmu. Sesuai janjiku, aku akan memberi
kebebasan padamu.”, perlahan tangan Hanao terangkat dan seketika menghujam
tepat ke arah dada kiri Ritsu. Mata Ritsu terbelalak, mulutnya terbuka dan
mengeluarkan darah hitam bersamaan dengan Hanao menarik tangannya dari dadanya.
Hanao membuang begitu saja mayat Ritsu ke dalam lautan belerang seperti barang
rongsokan.
Tawa mengerikan Hanao meledak memenuhi ruangan itu. Akano
mulai menangis histeris melihat kedua sahabatnya mati dengan cara menggenaskan.
“Hanao lepaskan aku! Lepaskan!”, teriaknya histeris sambil meronta-ronta
berusaha melepaskan diri dari rantai yang membelenggu tangannya. Beberapa anak
panah yang menusuk tubuhnya terlepas saat ia meronta, jatuh dan menghilang ke
dalam lautan belerang.
Hanao berhenti tertawa, menatap Akano dan melayang ke
arahnya. Hanao mengelus pipi Akano yang dipenuhi darah dan air mata. “Tenanglah
Akano, jangan menangis. Aku akan membuatmu merasakan sedikit rasa sakit.”,
Hanao tersenyum jahat dan tiba-tiba sepasang rantai muncul dari dalam lautan
belerang dan mengikat kedua kaki Akano. Akano menjerit kesakitan, kakinya yang
terikat rantai itu terasa seperti meleleh.
Akano menangis ketakutan, memohon kepada Hanao untuk
membiarkannya tetap hidup. Hanao hanya diam, tersenyum menatapnya sambil
memeluk boneka kelincinya. Rantai-rantai yang mengikat Akano mulai merenggang,
menarik tangan dan kakinya secara perlahan.
“Jangan, Hanao. Kumohon, ampuni aku. Tolong jangan bunuh
aku.”, kata Akano sambil menangis. Rantai itu semakin menarik tangan dan kaki
Akano membuat Akano berteriak kesakitan.
“Sampai jumpa di kematian, Akano.”, seketika itu juga tubuh
Akano tertarik dan terbelah dua. Mata Akano masih terbelalak, bagian dalam
tubuhnya terburai keluar dan tergantung-gantung bagaikan tali berlendir. Rantai
itu melepas belenggunya dan tubuh Akano terjatuh bebas masuk ke dalam lautan
belerang panas, mengeluarkan suara desisan dan asap yang menggepul. Cairan itu
perlahan menelan tubuhnya masuk ke dalam.
====
“Tiga orang siswi SMA Kagaku menghilang secara misterius di
dalam sekolah. Saksi menyebutkan mereka terakhir terlihat di dalam UKS sekolah dan
tidak pernah terlihat lagi. Ketiga siswi itu bernama Ritsu Takao, Akano
Mitsuhiro, dan Tomoe Futaba. Belum diketahui pasti penyebab hilangnya ketiga
siswi tersebut. Polisi masih mencari dan melacak keberadaan ketiga siswi ini.”,
terdengar suara televisi dimatikan.
“Kira-kira, permainan apa lagi yang akan kau mainkan?”, Death
melempar remot televisi ke arah dinding hingga hancur. Terdengar tawa kecil
dari sudut gelap suatu ruangan.
“Kira-kira, siapa lagi yang akan memainkan permainanku?”,
tanya suara itu kembali pada Death.
“Apa kau tak berencana untuk kembali ke neraka? Menemani
ketiga sahabatmu?”, Death menatap ke sudut gelap itu. Samar-samar terlihat
Hanao berjalan pelan keluar dari kegelapan sambil memeluk boneka kelincinya.
Senyum sumringahnya yang menyeramkan menghiasi wajahnya.
“Apa kau tak berencana untuk menambah persembahanmu? Menemani
ketiga sahabatku?”, tanya Hanao kembali pada Death. Tiba-tiba terdengar suara
bentakan marah beberapa gadis, disusul dengan suara tendangan berkali-kali yang
berasal dari gang kecil di luar ruangan itu. Samar-samar terdengar suara
tangisan kecil diantara teriakan marah gadis-gadis itu.
Death tersenyum, tentakel-tentakel merahnya menjalar keluar
dari bawah gaun putihnya, memenuhi ruangan itu. Perlahan ruangan itu dipenuhi
aura kegelapan dari tentakel-tentakel Death.
“Sepertinya itu ide yang bagus.”, seringai Death terlihat
dibalik kegelapan.
“Sepertinya itu ide yang sangat bagus.”, Hanao tertawa kecil,
terdengar sangat menikmati permainan yang akan mereka lakukan sebentar lagi.
-END