Saya itu...

Yah, saya hanya seorang anak kuliahan biasa yang ngefans sama Deadpool.

Disini saya akan membagikan cerpen-cerpen orisinil buatan saya sendiri, mungkin juga bisa gambar-gambar saya, curhat, artikel yang saya bikin, pokoknya suka-suka saya lah... (digampaarrr)

Yah, intinya, jadilah pembaca dan pengkritik dan pengomentar yang baik. Kalau ada kesalahan atau kurang setuju dengan pendapat saya sekiranya bisa diberitahu dengan santun. Anda baik, saya baik. Anda jahat, yaudah urusan anda. Hehe..

27 November 2015

T-Shirt Design

Cuma mau nge-share ajah sih apa yang sudah saya perbuat dua hari ini. (emang lu ngapain tong...) Jadi, kerjaan saya buat desain untuk kaos, kali aja ada yang tertarik kan boleh hubungin saya. Promosi nih promosi~







23 November 2015

Mengenal Macam-macam Kritikus (Versi saya)

Oke, hari ini saya akan membahas tentang para kritikus seni nih. Bukan berarti kalau semua kritikus itu jahat loh yah. Baik sih, tapi kadang khilaf mungkin, hahaha…

1.       Kritikus biasa
Ya, mereka biasa aja gitu pas mengkritik. Tidak terlalu keras tapi tidak terlalu lembut juga. Sedang-sedang saja lah. Mereka mengkritik apa yang mereka lihat dalam skala normal.

2.       Kritikus berat
Kalau kritikus macam ini, mereka tak segan-segan untuk mengkritik anda secara tajam dan pedas. Tidak pakai ini itu langsung ke poin nya. Dan kadang juga bisa dapat bonus sindiran sih, hoho…

3.       Kritikus tukang bikin diabetes
Ngerti gak maksudnya apa? Maksudnya ituloohh, mereka disuruh kritik malah ngasih kata-kata manis buat si peminta kritik. Padahal gambarnya banyak salah, tetep ajah dibilang bagus, keren, dan kata-kata pembuat diabetes lainnya. Kapan mereka mau maju?

4.       Kritikus iri-irian
Ahay, maksud saya dia kritik si seniman karena iri dengan karyanya yang lebih bagus dari punya dia, atau mungkin salah satu dari hater si seniman. Kebanyakan isi dari kritiknya itu kosong, gak ada isi dan beralasan, dan biasanya hinaan semua.

5.       Kritikus labil
Kritikus ini sih, biasanya ngasih kritik yang baik, tapi sarannya kadang agak nyeleneh dan gak masuk akal dengan apa yang udah di kritik. Ada? Ada.

6.       Kritikus ngeselin
Kalo ini, biasanya pelaku adalah bocah. Komentar mereka isinya gak penting sama sekali, kadang cuma numpang lewat, kadang fokus ke poin yang salah, dan sebagainya. Kan ngeselin.

Hmm, saya cuma bisa ketemu enam, mungkin kalau ada yang mau nambahin bisa diketik di komentar di bawah ini.

Saran saya, kritiklah seperlunya, jangan berlebihan. Kritikan memang membangun, tetapi kritikan kosong berisi makian bisa menjatuhkan mental. Sebagai seniman kita harus melatih mental kita untuk menerima dan menyeleksi setiap kritikan. Sebagai kritikus kita juga harus memperhatikan cara penyampaian kita pada sang seniman, karena tidak semua seniman itu bermental baja.

Untuk yang suka mengumbar Like dan pujian manis, dan juga caci maki, tolonglah berubah. Kasihan mereka yang mau belajar. Bukan berarti tidak boleh memberikan pujian. Boleh, asal yang rasional dan jangan berlebihan, kalau misalnya memang ada kesalahan beritahulah dia. Jangan juga terlalu sering memaki dan menghina karya orang, coba bayangkan saja posisinya diputar balik, sakitnya bagaimana.


Sekian dari post saya hari ini, saya tidak tahu lagi mau membuat post dengan tema apa besok. Mungkin saya akan membuat post pencerahan. Hahaha…

22 November 2015

Kelakuan Buruk Para Seniman Kebanyakan

Pada post sebelumnya, saya sudah membahas apa arti dari Seni, baik diambil dari beberapa sumber maupun dari opini saya sendiri. Nah, di post sebelumnya juga saya mengatakan akan membahas tentang yang saya sebut "kelakuan buruk" para seniman kebanyakan. Ini murni berdasarkan opini saya dan beberapa orang lainnya. Mungkin akan terjadi beberapa pro dan kontra, tapi yasudahlah saya tetap akan membahasnya.

1.       Minta kritik dan saran, tapi tidak siap
Beberapa seniman sering melakukan ini dan rata-rata adalah seniman pemula. Niat mereka adalah meminta kritik dan saran dari senior mereka atau mungkin penikmat seni lainnya untuk bahan pembelajaran sambil membantu mengasah kemampuan mereka. Tapi, jeleknya mereka adalah mereka sendiri tidak siap untuk menerima kritikan dan saran tersebut. Ada yang merasa sakit hati kemudian rendah diri dan berakhir dengan pemikiran bahwa ‘Saya tidak akan bisa seperti mereka.’

2.       Minta kritik dan saran, tapi ngeles
Ini juga sering terjadi di kalangan seniman pemula, bahkan ada beberapa kali terjadi pada seniman senior. Ceritanya mereka minta kritik dan saran atas karya mereka yang sudah dipublikasikan, tetapi suka ngeles. Maksudnya, mereka melarikan diri dari kesalahan mereka dan membuat berbagai alasan untuk membela diri merela dari kesalahan tersebut. (Jujur saya dulu sering begini tetapi saya berhasil berusaha menerima kenyataan, hiks..) Kemudian dampak dari tingkah laku mereka ini ya sudah bisa ditebak, kemampuan mereka tidak akan berkembang.

3.       Menyembunyikan bagian yang mereka tidak bisa
Maksudnya, misalkan mereka tidak bisa menggambar tangan, mereka akan menggambar seolah-olah tangan itu berpose di belakang punggung, intinya disembunyikan deh. Sering kok terjadi dengan seniman pemula yang belajar menggambar orang. Ada yang kadang kakinya disembunyikan, mata mungkin, atau bahkan muka, entahlah. Tetapi kalau mereka terlalu sering tidak percaya diri dengan kemampuan mereka dan menyembunyikan tantangan mereka, kapan mau berkembang?

4.       Menghina karya sendiri
Ini, parah. Sering saya temui kalau boleh jujur. Mungkin karena mereka minder atau gimana gitu karena di komunitas mereka itu kebanyakan kemampuan gambarnya di atas rata-rata, jadi setiap kali mereka mempublikasikan karya mereka, mereka akan otomatis menghina karya mereka sendiri. Contoh : Ini karya pertamaku, jelek banget ‘kan. Ininya salah, itunya salah, banyak yang salah deh. Mohon krisarnya ya. ; Ini karyaku, pakai pensil jelek, kertas cuma kertas HVS, penghapus juga murah. Krisarnya dong.

Well, kalau kamu sendiri menghina karya kamu, bagaimana orang mau menghargai karya kamu? Dan ‘gak semua seniman harus punya peralatan mahal juga, pakai peralatan seadanya kalau memang ada passion pasti akan menghasilkan karya yang bagus.

5.       Tidak mau keluar dari zona nyaman
Jujur saya juga masih sulit untuk keluar dari zona nyaman saya, begitu juga beberapa seniman yang pernah saya temui. Saya tidak bisa menggambar pria karena bingung dengan postur tubuh pria bagaimana, bukan karena tidak pernah melihat lelaki yaa. Saya sempat beberapa kali latihan dan memang mandet karena kebiasaan menggambar perempuan. Tapi walaupun tidak latihan secara intense saya tetap berusaha untuk berlatih menggambar pria. (kok malah curhat…)

Nah, beberapa seniman pasti juga pernah mengalami hal yang sama dengan yang saya alami, tetapi mereka tidak berani mengambil langkah pertama untuk keluar dari zona nyaman mereka. Mungkin ada yang pernah keluar, tetapi kemudian kembali lagi. Sebenarnya ini hak masing-masing orang, tetapi alangkah baiknya kalau kita dapat menguasai lebih dari dua keahlian dalam berkarya karena bisa saja itu menjadi poin plus dalam kehidupan. Sama seperti anda jago bahasa inggris dan accounting, mungkin anda bisa direkrut di perusahaan berbasis internasional dan mendapat gaji lebih tinggi dari karyawan lain. Poin plus~

6.       Aku bisa berkembang dengan diriku sendiri
Ada satu seniman unik yang pernah saya temui dalam hidup saya yang mengatakan sama seperti judul poin enam diatas. “Saya tidak butuh kritikan dan masukan dari orang lain, saya bisa berkembang dengan mengandalkan diri saya sendiri.”, seperti itu garis besar dari perkataannya. Mungkin beberapa dari kalian akan bingung dan beberapa dari kalian mungkin akan sama seperti saya, tertawa. Ya, kita manusia diciptakan hidup social, bahkan ansos sekalipun, dia butuh orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Coba bayangkan saja anda sedang belajar membaca, tetapi saat ada orang lain yang membantu anda menolaknya dengan alasan anda bisa belajar sendiri tanpa butuh bantuan siapapun. Sadarlah, anda sudah dibantu oleh seseorang yang menulis apa yang anda baca.

Seniman tidak bisa berkembang tanpa bantuan orang lain, meskipun tutorial yang anda dapatkan berasal dari usaha anda sendiri, tetapi tutorial itu juga dibuat oleh orang lain, jadi secara tidak langsung anda sudah dibantu oleh orang lain. Betul?

7.       Gambar ditolak, fans bertindak
Nah, ini dari senior saya. Kebanyakan seniman yang sudah memulai karirnya lebih lama dan sudah mendapat banyak fans berkat karyanya, akan menutup mata dan telinga dari semua saran dan kritikan yang masuk. Mereka sudah beranggapan kalau karya mereka sudah ‘Pro’, sudah baik, jadi mereka tidak butuh untuk menerima kritikan dan masukan dari siapapun. Sudah terjadi bahkan seniman luar juga begitu. Dan kebanyakan mereka akan menyerahkan urusan ini kepada fans mereka, biarkan fans yang akan membela mereka dan memarahi si pemberi kritik dan saran.

Sadar atau tidak, ini salah. Menggambar juga belajar dan belajar itu sifatnya terus menerus. Jadi meskipun gambar kita sudah ‘Wah’, tetap saja pasti ada kesalahan yang mungkin tidak kita sadari atau mungkin beberapa kekurangan dari gambar kita yang tidak kita sadari. Kritik dan saran tetap dibutuhkan untuk pembelajaran dan referensi dalam berkarya.

8.       Redraw/Remake
Saya tidak bilang redraw/remake itu salah. Boleh dilakukan asalkan untuk belajar. Bukan untuk mengakui kalau itu karya kalian, apalagi tidak ditambahkan dengan sumber gambar yang kalian ambil. Kejadian ini banyak terjadi dan sempat menimbulkan perdebatan hebat beberapa waktu yang lalu. Menurut saya, redraw/remake itu bukan sebuah skill, kalian istilahnya hanya ‘menjiplak’ karya orang lain, melakukan setiap bagian dengan sama persis, kemudian mempublikasikannya pada social media yang anda punya dengan mengatas namakan diri anda yang membuat walaupun referensi gambarnya anda cantumkan. Lebih berbahaya lagi apabila anda tidak mencantumkan sumbernya. Apakah itu skill? Hasil yang bisa dikatakan sebuah karya? Tidak bagi saya.

Dari yang senior saya bilang, redraw hanya diperbolehkan dalam pembuatan komik, itupun harus ada ijin dan yang boleh melakukan hanya asisten komikus. Redraw juga hanya diperbolehkan dalam latihan menggambar dan tidak untuk dipublikasikan. Redraw bisa digunakan untuk melatih keluwesan tangan, atau semisal anda menyukai style dari seseorang dan ingin style gambar anda seperti dia ya tidak masalah, asal jangan mengakui itu style anda saja.

Sebenarnya, masih banyak lagi kelakuan jelek para seniman yang bisa kalian sebutkan, tapi untuk sekarang saya hanya menemukan delapan terparah. Saran dari saya, berubahlah secepatnya dari mindset seperti itu kalau ingin berkembang lebih baik.

Kritik dan saran memang membangun, tapi kadang menjatuhkan. Anda harus pandai belajar menyikapi itu semua dan menerima dengan lapang dada. Memiliki banyak fans bukan berarti anda bisa besar kepala dan menjadi seseorang yang sombong, justru anda harus lebih berusaha keras untuk menghasilkan karya yang lebih baik dan lebih baik lagi untuk fans anda. Zona nyaman memang sulit untuk ditinggal, tapi ada baiknya kita mengambil sebuah tantangan dan menantang diri sendiri untuk menjadi lebih baik. Toh hasilnya juga untuk diri anda sendiri dan kebanggaan pastinya akan anda rasakan.



Untuk post selanjutnya, saya akan membahas tentang “Para Lidah Tajam” alias sang kritikus. Stay tune ya! Sekian dan salam seni!

21 November 2015

Seni?

Oke, di blog saya kali ini akan membahas mengenai Seni. Berhubung saya juga (mengaku) seniman 'kan, jadi 'gak ada salahnya dong kalau saya bahas ini sekali-kali. Hehe...

Oke, untuk bahan perbandingan, saya mengambil dari beberapa sumber mengenai arti Seni itu sendiri:

1. Pengertian Seni Menurut Bahasa
Seni sendiri berasal dari bahasa sansekerta (sani) yang berarti ‘pemujaan, persembahan dan pelayanan’. Jadi, kata tersebut punya kaitan yang erat dengan upacara keagamaan yang disebut juga dengan ‘kesenian’. Padmapusphita berpendapat bahwa, seni itu berasal dari kata ‘genie’ (bahasa Belanda) yang dalam bahasa latin berarti ‘genius’, tu artinya seni adalah kemampuan luar yang dibawa sejak lahir. Sedangkan jika menurut kajian yang terdapat dalam ilmu eropa disebut dengan ‘art’ yang bisa diartikan sebagai artivisual dari suatu benda yang melakukan suatu kegiatan tertentu.

2. Pengertian Seni Menurut Ensiklopedi Indonesia
Seni merupakan ciptaan segala hal karena keindahannya orang senang melihat atau mendengarkannya.

3. Pengertian Seni Menurut Para Ahli
Seni merupakan keindahan dan seni adalah tujuan yang positif, serta menjadikan setiap orang yang melihat atau mendengarnya merasa bahagia. (Alexander Baum Garton)
Seni merupakan ungkapan perasaan pencipta yang kemudian diungkapkan pada orang lain dengan harapan agar mereka bisa ikut merasakan apa yang dirasakan oleh penciptanya. (Leo Tolstoy)
Seni merupakan perbuatan manusia yang timbul dari perasaan yang bersifat indah sehingga mampu menggetarkan hati dan perasaan manusia. (Ki Hajar Dewantara)
Seni merupakan perbuatan manusia yang mencoba untuk merefleksikan kenyataan dalam sebuah karya atau bentuk yang isinya memiliki daya tarik untuk membangkitkan suatu pengalaman tertentu dalam alam rohani. (Akhdiat Karta Miharja)

Well, dari sumber-sumber diatas memang agak sulit dipahami ya arti dari si Seni itu sendiri karena kata-katanya terlalu dalam atau mungkin terlalu berat dicerna otak dalam sekali bacam menurut saya sih. Jadi mari kita rangkum pendapat-pendapat di atas.

Seni adalah sesuatu yang indah yang dibuat oleh manusia dan dipersembahkan kepada khalayak ramai yang dapat membuat seseorang merasakan suatu perasaan yang ingin disampaikan; baik dengan melihat, mendengar, merasakan, dan sebagainya.

Menurut saya, Seni itu adalah sesuatu yang diwujudkan dalam suatu karya untuk konsumsi sendiri ataupun publik, digunakan dalam menyampaikan sesuatu ataupun untuk memuaskan diri baik si pembuat atau si penikmat seni itu sendiri.

Seni sendiri dapat dibagi sesuai media penyampaiannya. Secara audio, kita bisa menikmati seni melalui puisi, musik, pantun dan sastra. Secara visual, kita bisa menikmati seni melalui lukisan, poster, bela diri, teater, drama, tari, dan lain-lain. Sedangkan secara audiovisual kita bisa menikmati seni melalui drama musikal, film, animasi, pertunjukan wayang dan pertunjukan musik.

Saya mengakui kalau seni itu rumit, karena tidak ada peraturan seni yang konkret seperti kita menghitung pada pelajaran matematika dan fisika. Menurut saya, menilai seni itu bagus atau tidak, tidak bisa hanya dari kita sendiri atau hanya dari ahli seni. Kita juga harus mendengar pendapat dari orang yang menikmati karya seni kita dan kita dapat belajar lebih banyak dari kritik dan masukan yang diberikan oleh mereka. Mungkin saja ada kesalahan yang kita tidak tahu tetapi ada orang lain yang menyadarinya dan memberitahu kepada kita. Seni kita akan semakin dihargai jika penikmat karya kita semakin banyak dan menyukai karya kita.

Namun, mendapat banyak fans dan dukungan dari mereka tidak dapat kita jadikan alasan untuk berhenti menerima kritikan dari orang lain. Kita juga tidak bisa mengandalkan diri sendiri untuk memperbaiki karya kita. Hal tersebut yang sering saya dapati di luar sana dan beberapa pendapat dari senior saya. Ada yang karena sudah memiliki banyak fans, ia menutup mata dan telinga untuk kritikan yang masuk dan malah mendapat pembelaan dari para fans. Ada juga yang tidak siap menerima kritikan dan malah mengatakan kalau ia bisa berkembang dengan dirinya sendiri. Hal ini akan saya bahas dalam postingan saya selanjutnya.

Intinya, Seni adalah karya yang dinikmati bersama dan dapat dinikmati oleh kalangan manapun. Tanpa seni, dunia tidak akan berwarna dan tidak akan hidup, karena bisa dikatakan penciptaan dunia juga adalah seni. Saya tidak bisa membayangkan kalau dunia itu tidak ada seni, akan sangat mengerikan. Menulis artikel dan buku paket saja seni, berhitung juga seni, membuat logo perusahaan juga seni, membuat pakaian dan sebagainya juga seni. Jadi kalau tidak ada seni..., itu akan sangat mengerikan.

A Lil Bit Sharing...

Yep, sekarang lagi ada proyek untuk membuat novel nihh.. Saran dari temen sih, soalnya kata dia ceritaku bagus, kenapa gak coba ajah bikin novel trus di-publish? Yaa, sarannya sih udah lama cuma baru sempetnya sekarang, baru ada waktu setelah sibuk menggambar dan mengurus masalah dunia nyata.

Haahh, beban hidup lebih berat daripada berat badan meeenn.. (atulaahh berat badan dibawa-bawa)

Jadi, kasih bocoran dikit nih soal si novel.
Kami rampungin ide simpel pakai reverensi Alice In Wonderland, kebetulan itu cerita juga aku suka banget. Dia bilang, kamu bikin versi lain dari cerita ini coba, tapi ya mungkin alurnya sama, but make it as original as possible. Aku bilang oke, Puji Tuhan lah otakku gak mampet buat nyari pembukaannya gimana walopun sedikit absurd.

Yahh, harapannya semoga bisa ku publish aja ini novel. Doain yaahh!! :D

Dan kalo misal mau request apapun itu, mau gambar kek, cerpen kek, atau artikel kek, pembahasan apa kek, silahkan atuh diberikan masukan. Ya, siapa tau kan bisa bermanfaat buat kita semua. (halaah elu mah kata-katanya) Hehe... Salam seni!

20 November 2015

Eternal Games - Short Story

Bukk!

“Tas apa ini?! Kau kira ini tempat gelandangan berkumpul?! Ini sekolah elit, kau tau itu?!”, teriak seorang gadis dengan rambut pendek berwarna coklat kehitaman sambil melempar sebuah tas sekolah yang sudah compang camping dengan marah.

Si gadis berambut panjang hitam pekat hanya bisa menangis dan tertunduk. Dia berjongkok dan meraih tasnya tapi dirinya didorong jatuh oleh satu gadis berkuncir dua berwarna hitam di cat pirang dan merah. “Bahkan tasmu, tak pantas untuk berada di sekolah ini!”, teriaknya dengan marah.

“T-tapi itu tas satu-satunya yang kupunya.”, jawab gadis berambut hitam itu dengan lirih. “Kalian sudah merusaknya sampai begitu, makanya..”, belum sempat gadis itu menyelesaikan perkataannya, gadis tomboy dengan rambut merah yang dipotong cepak menampar pipi kanannya dengan keras.

Gadis tomboy itu mencengkram wajah si gadis berambut hitam dengan kasar. “Kau tidak berhak untuk berbicara, suaramu terlalu kotor untuk kami dengar!”, kata gadis tomboy itu dengan marah yang kemudian mengeluarkan lollipop yang ia makan dan meludahi wajah gadis berambut hitam itu.

“Hey, Tomoe. Jangan meludahi dia, air liurmu bahkan lebih berharga daripada nyawanya. Benar ‘kan, Akano?”, kata gadis berkuncir dua itu.

“Tepat sekali. Gadis bodoh dan tolol seperti dia mana ada harganya. Aku heran kenapa papamu bisa memberinya beasiswa untuk masuk ke sekolah kita ini, Ritsu.”, kata Akano sambil menjambak rambut hitam gadis itu.

“Yah, hanya karena dia pintar papaku langsung setuju untuk memberikannya beasiswa. Bodohnya.”, Ritsu melipat tangannya melihat Akano menjambak rambut gadis itu sampai tubuhnya yang lunglai itu terangkat. Senyum sumringah terlihat di bibirnya saat wajah kesakitan dan tangisan gadis itu semakin menjadi.

“Menangislah sekencang-kencangnya, Hanao kecil. Menangislah! Tidak ada yang akan mendengarmu walaupun kau menangis sampai pita suaramu putus!”, teriak Tomoe marah sambil menghantamkan tinjunya dengan keras ke perut Hanao. Ia terbatuk, darah kehitaman mengalir keluar dari tepi mulutnya.

“Oh, lihat! Ia berdarah! Sebentar, akan kuambilkan tisu untukmu.”, kata Ritsu sambil berjalan mendekati tas lusuh Hanao kemudian membawanya ke hadapan Hanao yang masih dalam keadaan dijambak.

“Dimana ya tisunya? Ah, tas ini terlalu berantakan dan kotor. Biar kurapikan untukmu ya, Hanao.”, Ritsu membalikkan tas Hanao dan barang-barang yang ada di dalam tasnya jatuh berhamburan. Akano dan Tomoe tertawa puas melihat barang-barangnya jatuh berserakan di tanah. Hanao hanya bisa menangis pasrah.

“Oh, teman-teman. Aku punya ide yang bagus.”, kata Tomoe sambil mengeluarkan sebuah pemantik api dari saku sweater nya. “Bagaimana kalau kita menunjukkan sebuah sulap kepada teman baik kita, Hanao ini?”, ia kemudian menyalakan pemantik apinya.

“Ide yang bagus, Tomoe! Kita akan menunjukkan ke Hanao bahwa barang-barangnya akan menghilang dalam sekejap!”, kata Ritsu dengan sangat bersemangat.

“Yah, lakukan itu Tomoe! Aku akan pastikan ia membuka mata untuk melihat sulap terhebat dari kita!”, Akano menghempaskan tubuh Hanao ke tanah, membiarkan Hanao duduk berlutut, kemudian menjambak kembali rambutnya sampai kepalanya terangkat.

“Jangan! Jangan bakar itu! Aku mohon pada kalian. Itu satu-satunya yang kupunya! Kumohon!”, Hanao tak berhenti menangis dan berusaha menutup matanya, tapi Akano menamparnya dengan keras.

“Jaga matamu terbuka atau kucungkil matamu!”, kata Akano kasar. Hanao mengangguk lirih sambil terus menangis.

Tomoe menjatuhkan pemantik apinya tepat di atas buku pelajaran Hanao yang berserakan di tanah. Api perlahan menjilati bagian dari buku-buku itu dan kemudian merambat ke barang-barang yang ada disekitarnya, termasuk tas Hanao. Ia hanya bisa menangis histeris melihat barang-barangnya habis dilalap api. Mereka bertiga tertawa puas melihat kobaran api yang dengan cepat melahap barang-barang Hanao yang berserakan di tanah.

“Baiklah, pertunjukan sudah selesai teman-teman. Ayo kita pulang dan tinggalkan sampah ini disini saja.”, kata Ritsu sambil menepuk-nepuk telapak tangannya seperti membersihkannya dari debu.

“Benar, ayo kita pulang. Dia tidak akan bisa mengotori sekolah kita lagi besok.”, kata Tomoe sambil tertawa puas.

Akano melepaskan rambut Hanao yang ia jambak dengan kasar. “Dasar bedebah, jangan pernah lagi kau menginjakkan kaki di sekolah kami! Kalau sampai aku melihatmu di sekolah besok pagi, maka kau akan menerima hukuman yang lebih parah dari ini, kau mengerti?!”, kata Akano marah sambil mencengkram wajah Hanao dengan kasar. Hanao hanya bisa mengangguk pasrah sambil menangis.

Akano kemudian melepaskan cengkramannya dengan kasar dan pergi meninggalkan Hanao dengan kedua temannya. Hanao tak henti-hentinya menangis sambil berusaha memadamkan api menggunakan jas sekolahnya yang usang. Api perlahan padam dan Hanao berusaha menyelamatkan benda apapun yang masih bisa diselamatkan olehnya.

Buku-buku pelajarannya hangus terbakar, begitu juga dengan tasnya. Dompet dengan uang yang ia hasilkan dari pekerjaan paruh waktunya juga hangus terbakar. Yang bisa ia selamatkan hanya kartu pelajarnya dan sebuah kotak kecil yang terbuat dari aluminium dengan ukiran bunga mawar berwarna hitam di atasnya. Kotak itu adalah pemberian terakhir dari ibunya sebelum beliau meninggal sewaktu Hanao masih duduk di bangku SMP.

“Semuanya hancur, masa depanku hancur. Mereka sudah menghancurkan semuanya, bu. Semua yang aku punya mereka hancurkan.”, kata Hanao lirih sambil memeluk kotak itu.

“Apakah aku harus menyusulmu sekarang, bu? Aku sudah tidak kuat lagi. Aku ingin mati saja bu.”, Hanao menangis tersedu-sedu.

Tak sengaja ia menjatuhkan kotak kecil yang dipeluknya. Kotak itu terpental beberapa kali dan tutupnya terbuka. Terdapat sebuah kertas yang terlipat kecil keluar dari kotak itu. Hanao memandang bingung kertas itu dan mengambilnya kemudian membuka lipatan kertas itu. Ia terkejut mendapati ada sebuah simbol lingkaran yang dipenuhi tulisan-tulisan aneh dan terdapat mantra-mantra aneh di sebelah simbol itu.

“Ini apa? Kenapa Ibu menitipkan ini padaku?”, Hanao menatap bingung kertas itu. Ia semakin bingung membaca sebuah kalimat yang tertulis di atas simbol itu. “Mantra Bunga Hitam? Apa ini?”, ia kemudian membalik kertas itu dan mendapati sebuah pesan yang ditulis tangan oleh ibunya.

Hanao, ibu tahu saat ini akan tiba. Biarkan kematian yang menyelesaikan semua. Biarkan kematian yang menghancurkan keangkuhan. Biarkan kematian menelan kehidupan. –Ibu

Seketika itu juga mata Hanao melebar, sorot matanya penuh dengan amarah dan kebencian. Bayangan akan kejadian penyiksaan yang dilakukan oleh Akano, Ritsu, dan Tomoe memenuhi pikirannya. “Aku akan menjemput mereka dalam kematian.”, kata Hanao penuh dendam.

“Selamat pagi!”, Akano menyapa Ritsu dan Tomoe yang sedang mengobrol di bangku mereka. Akano meletakkan tasnya di atas meja kemudian melirik ke arah bangku kosong di sudut kelas.

“Dia belum datang?”, tanya Akano pada kedua sahabatnya. “Entahlah, mungkin dia sudah tidak berani lagi setelah kejadian kemarin.”, jawab Tomoe acuh sambil mengemut lolipopnya.

“Mungkin, kemarin kita sudah sangat keterlaluan. Sampai-sampai dia tidak mau masuk sekolah lagi.”, kata Ritsu dengan wajah sedikit cemas.

“Hey, sudahlah! Bukannya memang itu tujuan kita? Untuk membuatnya keluar dari sekolah kita ini. Buat apa lagi kau cemas, Ritsu?”, Akano memandang sinis ke arah Ritsu. “Oh ya, benar. Maafkan aku.”, kata Ritsu sambil tertawa kecil. Tomoe hanya menggeleng melihat kelakuan salah satu sahabatnya yang plin plan itu.

Bel sekolah berdentang nyaring memenuhi gedung, tanda pelajaran akan dimulai. Para murid yang tadinya berbicara riuh terdiam saat suara pintu kelas terbuka. Wali kelas mereka, Bu Oikichi, melangkah masuk, diikuti dengan seorang anak kecil berpakaian serba putih dan mengenakan sebuah kain putih di kepalanya untuk menutup wajahnya. Anak itu membawa sebuah vas bunga kecil dengan bunga lily putih di tangan kirinya dan foto Hanao di tangan kanannya . Semua murid menatap bingung dan aneh ke arah anak kecil itu.

“Hari ini kita mendapatkan kabar duka cita dari Hanao Kurogame. Hanao ditemukan tewas dirumahnya kemarin malam. Polisi mengatakan ia tewas karena kehabisan darah, diduga kuat Hanao melakukan bunuh diri karena telah menjadi korban penindasan di sekolah.”, mata Akano, Ritsu, dan Tomoe terbelalak. Keringat dingin mulai membasahi tubuh mereka.

“Dan ini adalah adik dari Hanao, yang akan memberikan penghormatan terakhir kepada kakaknya pada hari ini. Mari kita bersama-sama berdoa untuk arwah Hanao, semoga tenang di alam sana.”, mereka semua menundukkan kepala dan anak itu mulai berjalan ke arah bangku Hanao.

Akano menatap anak itu saat ia melewati bangku Akano. Anak itu berhenti sejenak, kemudian tersenyum pada Akano. Bibir kecilnya seakan mengucapkan sesuatu tapi tak ada suara yang terdengar dari mulutnya. Akano terpaku, tubuhnya bergetar ketakutan. Anak itu kemudian berjalan kembali menuju bangku Hanao, meletakkan vas bunga dan foto Hanao di atas mejanya dan berdoa sejenak di samping mejanya. Setelah berdoa, anak itu berjalan kembali ke depan kelas dan berdiri di samping meja guru.

“Baiklah, untuk waktu selanjutnya akan diserahkan kepada guru pelajaran yang bersangkutan.”, anak itu membungkuk hormat kemudian menatap ke arah Akano, Ritsu, dan Tomoe. Ia tersenyum dan meninggalkan ruang kelas bersama Bu Oikichi.

“A-apa yang sudah kita lakukan padanya?”, kata Ritsu dengan muka pucat pasi. “Hey, tenanglah Ritsu. Itu bukan kesalahan kita. Dia yang mengakhiri hidupnya sendiri, bukan kita yang membunuhnya. Benar ‘kan, Akano?”, Tomoe mencoba menenangkan Ritsu yang ketakutan dan memandang ke arah Akano. Akano tidak memberikan respon apapun, tidak memalingkan mukanya ataupun menjawab.

“Hey Akano, kau tak apa?”, saat Tomoe ingin memegang pundak Akano, ia menepisnya dengan cepat dan memandang ketakutan ke arah Tomoe. Muka Akano pucat pasi dan dipenuhi keringat dingin. Tubuhnya bergetar ketakutan seperti baru melihat kejadian mengerikan. Tomoe terkejut memandang Akano sambil memegang tangannya yang sakit karena ditepis Akano.

“A-aku baik-baik saja. Ya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Benar. Tidak ada yang perlu kita khawatirkan.”, kata Akano dengan suara bergetar.

“Akano? Kau yakin kau baik-baik saja?”, tanya Ritsu khawatir.

“Ya..Ya! Tentu kita akan baik-baik saja! Bukan kita pembunuhnya ‘kan? Iya ‘kan?”, Akane menatap kedua temannya bergantian. Matanya membulat ketakutan. Ritsu dan Tomoe hanya bisa memandang Akano dengan tatapan bingung.

Tomoe melihat guru pelajaran matematika, Pak Mitsumoto, memasuki ruangan kelas. Mereka kembali ke posisi duduk mereka seperti semula. Akano masih mengulangi kata-kata yang sama sambil meremas erat jari-jari tangannya yang berkeringat.

“Semua akan baik-baik saja.”

“Semua akan baik-baik saja..”

“Dia akan membunuh kalian.”, Akano mendengar suara bisikan persis di sebelah telinganya. Perkataan itu juga terucap di bibir adik Hanao saat melintasinya. Tiba-tiba Akano berteriak histeris dan meronta tak terkendali. Suasana di kelas pun berubah menjadi riuh dan panik.

“Cepat! Bawa dia ke UKS! Tahan tangannya! Bawa dia segera!”

Akano perlahan membuka matanya dan mendapati Ritsu dan Tomoe memperhatikannya dengan wajah khawatir. “Syukurlah kau sudah sadar, Akano!”, Ritsu bernapas lega dan menghapus air matanya.

“Aku di mana? Kenapa aku bisa ada di sini? Apa yang terjadi?”, tanya Akano bingung sambil menerawang ke sekitar ruangan.

“Kau sedang ada di UKS. Tadi kau berteriak tiba-tiba dan meronta tak terkendali seperti orang kerasukan setan. Makoto dan Tsuota yang membopongmu ke sini tadi.”, jawab Tomoe sambil duduk di tepi kasur Akano.

“Benarkah? Seingatku tadi Bu Oikichi datang ke kelas untuk mengumumkan kematian Hanao bersama adiknya Hanao. Setelah itu..”, Akano terdiam berusaha mengingat apa yang terjadi.

“Setelah itu? Apa? Kau tidak ingat?”, tanya Ritsu khawatir.

“Setelah itu adiknya Hanao berjalan melewatiku dan aku menatapnya. Kemudian pandanganku mulai kabur dan menjadi gelap. Aku tidak ingat kalau aku tadi berteriak dan meronta seperti orang kesurupan.”, kata Akano bingung. Ritsu dan Tomoe hanya bisa menatap bingung sahabatnya itu.

“Oke sudahlah kita lupakan saja. Yang penting Akano sekarang sudah tidak apa-apa.”, kata Ritsu sambil memeluk Akano.

“Ya, benar. Tapi, aku penasaran. Bukannya Hanao tidak mempunyai sanak saudara? Setahuku dia anak tunggal.”, kata Tomoe.

“Eh, benar juga. Setelah ibunya meninggal, dia tinggal sendirian di pemukiman padat kumuh di ujung kota karena rumahnya dulu dijual untuk membayar pemakaman ibunya.”, Ritsu mengiyakan pernyataan Tomoe.

“Kalau begitu, anak berbaju putih tadi yang mengaku adiknya Hanao itu siapa? Tidak mungkin kalau dia itu hantu.”, kata Akano tidak percaya. Tiba-tiba pintu UKS terbuka dengan kasar dan anak kecil yang mereka bicarakan tadi berjalan masuk dan berdiri di hadapan mereka.

“Aku memang bukan saudaranya. Tapi aku mengenalnya dengan baik.”, suara anak itu terdengar seperti suara wanita dewasa. Bulu kuduk mereka bertiga meremang.

“S-siapa kau?!”, tanya Tomoe ketakutan. Tiba-tiba pintu dan jendela tertutup kuat, suasana berubah menjadi mencekam. Tentakel-tentakel semerah darah menjalar keluar dari bawah gaun putih anak itu dan perlahan memenuhi ruangan itu.

“Aku adalah Death, sang kematian! Dia yang mengirimku ke sini untuk menjemput kalian!”, suara Death menggema dan menggetarkan ruangan itu. Retakan demi retakan menjalar keseluruh ruangan dan langit-langit ruangan itu mulai berjatuhan. Death tertawa dengan keras, getaran semakin mengguncang ruangan itu membuat ketiga gadis itu panik dan ketakutan.

“Aku belum mau mati! Tidak! Bukan aku yang membunuhnya! Jangan bunuh aku!”, teriak Ritsu histeris. Tawa jahat Death semakin menggema dan menggetarkan ruangan itu. “Tidak, kalian tidak akan mati, setidaknya untuk sekarang. Tugasku hanya mengantarkan kalian pada permainannya dan menikmati permainan yang akan kalian mainkan.”, seketika itu juga suara Death berubah menjadi seperti suara gadis kecil.

“Permainan apa?! Apa maksudmu?!”, teriak Akano dalam kepanikan. Death hanya tertawa, suaranya berubah menjadi gabungan antara suara anak kecil dengan wanita dewasa yang semakin membuat ketiga gadis itu ketakutan. Tentakel-tentakelnya menyergap tubuh ketiga gadis itu dan mengangkat mereka ke udara. Lantai ruangan itu mulai ambruk dan berjatuhan ke bawah, menyisakan sebuah lubang yang diliputi kegelapan kekal seperti lubang hitam yang menyedot apapun yang mendekatinya. Dinding ruangan itu seperti dibungkus oleh air terjun darah yang mengalir turun menuju lubang hitam.

“Nikmatilah perjalanan kalian, para gadis laknat.”, Tentakel-tentakel Death melempar tubuh mereka ke dalam lubang hitam. Mereka hanya bisa berteriak saat tubuh mereka terhempas dan tersedot ke dalam lubang hitam yang tidak tahu akan membawa mereka ke mana.

 “Uhh..”, Akano membuka matanya sambil mengerang kesakitan tapi yang dapat dilihat olehnya hanyalah kegelapan kelam yang menyelimuti sekitarnya. Tercium juga bau belerang yang menyengat di tempat itu. Ia terduduk di dalam kegelapan itu, berusaha menggerakkan tangannya untuk meraba sekitarnya, tapi tiba-tiba terdengar suara gemerincing rantai besi yang terseret di lantai.

“Oh tidak. Tanganku, kenapa bisa begini?”, kata Akano sambil meraba pergelangan tangannya yang terkunci rapat oleh borgol berantai besi. “Aku di mana? Ritsu! Tomoe! Kalian di mana?!”, Akano berusaha berteriak memanggil kedua sahabatnya tapi tidak ada jawaban.

“Ritsu! Tomoe! Kalian di mana?! Jawablah!”, teriak Akano panik. “Akano, kau di mana?! Aku tidak bisa melihat apapun dan tanganku terborgol erat oleh rantai!”, suara Ritsu samar-samar terdengar dari sebelah kiri Akano.

“Tanganku juga terborgol erat dan di sini gelap sekali! Dan bau belerang ini begitu menyengat!”, teriakan Tomoe terdengar samar-samar di sebelah kanan Akano.

”Apa kalian terluka?! Kalian tidak apa-apa?!”, teriak Akano sambil menoleh ke arah kiri dan kanannya yang diselimuti kegelapan.

“Ya, hanya saja aku mau muntah! Bau belerang ini sunggu tidak enak!”, balas Tomoe.

“Aku juga baik-baik saja! Tapi tempat ini panas dan begitu bau! Aku mau keluar dari sini!”, teriakan Ritsu bergetar sambil menahan tangisannya.

“Syukurlah kalian tidak apa-apa! Aku akan menemukan cara untuk menolong kalian dan keluar dari sini! Kalian tenanglah!”, jawab Akano setenang mungkin. Akano meraba borgol yang mengikat pergelangan tangannya, tidak ada lubang kunci sama sekali. Kemudian ia berusaha menarik tangannya keluar dari lubang borgol itu tapi hasilnya nihil. Akano menarik-narik rantai borgol itu dengan kuat, berharap agar rantai itu bisa putus, tapi hasilnya juga sama. Tampaknya tidak ada yang bisa memutuskan rantai itu dan membuka borgolnya.

Saat Akano masih sibuk mencari cara untuk melepaskan diri, tiba-tiba terdengar suara seperti gulungan film berputar cepat dan layar dengan cahaya redup muncul perlahan di hadapan Akano. “Hey, apa kalian melihat cahaya itu?!”, teriak Akano bertanya pada kedua sahabatnya.

“Ya aku melihatnya! Cahaya apa itu?! Kita seperti sedang menunggu sebuah film diputar dari cahaya itu!”, jawab Ritsu.

“Aku juga melihatnya! Dan tampaknya memang ada film yang akan ditampilkan dari sana!”, selang beberapa detik dari jawaban Tomoe, sebuah tayangan hitung mundur muncul di layar itu. Saat hitung mundur menunjukkan angka terakhir, sebuah film dengan rekaman amatir mulai diputar. Tampak Akano, Ritsu, dan Tomoe sedang tertawa sambil menyobek sebuah buku diari bersampul merah mudah.

“Ini..”, Akano terpaku melihat film itu. Kejadiannya persis seperti saat di mana mereka mengerjai Hanao. Dan rekaman kamera itu seperti direkam dari sudut pandang Hanao.

“Dasar gadis bodoh! Mana ada lagi orang yang menulis di buku diari seperti dirimu! Dasar udik!”, kata Akano dengan marah sambil melempar sobekan buku diari itu ke wajah Hanao.

“Sudah miskin, udik pula! Hey, sadarlah! Kau tidak pantas ada di sini, bersekolah dengan kami! Dasar sampah!”, teriak Ritsu dengan berkacak pinggang sambil menunjuk ke arah Hanao dengan marah.

“Tapi, tapi aku..”, suara Hanao terdengar ketakutan sambil melihat mereka bertiga.

“Tapi apa, hah? Apa?!”, bentak Tomoe sambil menjambak rambut Hanao dengan kasar. Hanao meringis kesakitan sambil menggeleng.

“Sudahlah Tomoe, tidak perlu menjambaknya.”, kata Akano.

“Ada apa Akano? Kau masih menaruh kasihan dengan mantan sahabat kecilmu ini?”, Tomoe tertawa dan menjambak rambut Hanao lebih kuat. Akano hanya terdiam sambil menatap Hanao yang mulai berlinang air mata, memohon pertolongannya.

“Hey, Akano. Tidak perlu kasihan dengan belatung ini. Lagipula, kau kan sudah ada kami. Kau kaya, cantik, dan pintar. Tidak perlu kau bergaul dengan orang macam dia.”, Ritsu memegang bahu Akano sambil menatap jijik ke arah Hanao.

“Akano..”, kata Hanao lirih disela tangisannya. Tomoe menghempaskan tubuh Hanao dengan kasar. “Dasar bedebah! Masih tidak kapok juga?!”, bentak Tomoe sambil menginjak-injak tubuh Hanao.

“Sudah cukup! Ayo pergi!”, bentak Akano sambil berjalan pergi meninggalkan Hanao. Ritsu menatap aneh ke arah Akano dan menyusulnya. Tomoe berhenti menginjak Hanao dan menatap punggung kedua temannya yang berjalan pergi. “Awas kau, aku belum selesai denganmu.”, katanya pada Hanao sambil berlari menyusul Akano dan Ritsu.

Rekaman itu terpotong dan berganti ke rekaman lain yang menunjukkan kekejaman mereka bertiga menyiksa dan mengerjai Hanao. Di rekaman itu, Akano yang awalnya tidak berani mengerjai Hanao secara fisik semakin lama berubah menjadi kasar dan sadis. Ia tidak segan-segan menaruh paku pada sepatu Hanao yang menyebabkan kaki Hanao terluka parah di dalam satu rekaman, Ia juga terlihat menendang dan memukul Hanao hingga memar pada beberapa rekaman yang diputar.

Rekaman itu tiba-tiba terhenti, kemudian terputar kembali dengan kejadian penyiksaan terakhir mereka pada Hanao sebelum ia meninggal. Terlihat ketiga gadis itu sangat menikmati momen dimana mereka membakar habis tas Hanao beserta isinya dan memaksa Hanao untuk melihatnya. Rekaman itu terhenti dan layar dengan cahaya putih yang redup kembali tampak di hadapan mereka.

Akano menangis tersedu-sedu melihat kelakuannya yang tidak manusiawi kepada Hanao di rekaman itu. Ia tidak menyangka bahwa ia bisa sekejam itu kepada sahabat kecilnya yang selalu membantunya pada saat ia masih di panti asuhan dulu. Bayangan masa kecilnya bersama Hanao terputar kembali di otaknya yang membuatnya begitu menyesal atas perlakuan kejamnya pada Hanao yang tidak bersalah itu.

“Maafkan aku, Hanao. Maafkan aku.”, kata Akano lirih.

“Maaf katamu?”, tiba-tiba suara Hanao terdengar memenuhi ruangan gelap itu. Tampak obor-obor kayu disekitar ruangan itu seketika menyala menerangi ruangan itu. Mereka bertiga berdiri di atas sebuah lantai semen berbentuk persegi dengan ukuran setiap sisinya sekitar 2 meter yang terpisah dengan jarak yang cukup jauh. Di bawah mereka terdapat lautan belerang panas yang melelehkan setiap benda yang jatuh ke dalamnya. Layar yang ada di hadapan mereka perlahan menghilang bagaikan tertelan udara dan tampak sosok Hanao berdiri menapaki udara sambil membawa sebuah boneka kelinci lusuh.

“H-hanao? Kau bukannya..”, kata Tomoe terbata-bata tak percaya. Ritsu hanya bisa ternganga, mukanya tampak sangat pucat.

Hanao berjalan mendekati Akano. Tubuhnya yang kurus kering hanya dibalut gaun putih lusuh dan di sekujur lengan dan kakinya yang panjang penuh dengan sayatan pisau yang masih mengeluarkan darah berwarna kehitaman. Matanya hitam dengan pupil berwarna putih menatap tajam ke arah Akano. Tubuh Akano bergetar hebat karena ketakutan luar biasa yang ia rasakan saat matanya bertemu dengan mata Hanao.

“Hanao..”, hanya kata itu yang bisa keluar dari bibir pucat Akano.

“Pasti kau yang menyebabkan ini semua, ya kan?!”, suara Tomoe mulai meninggi disela ketakutannya.

“Y-ya! Kenapa kau membawa kami kesini? Tidak cukupkah kau menyusahkan kami saat kau hidup?! Keluarkan kami sekarang!”, teriak Ritsu ketakutan.

Hanao tiba-tiba tertawa seperti orang tidak waras. Tawanya yang menyeramkan itu menggema memekakkan telinga. “Melepasmu? Kalian?”, Hanao dalam sekejap mata muncul di depan Ritsu dan menjambak rambutnya. Darah yang terus keluar dari luka di pergelangan tangannya menetes di wajah Ritsu yang pucat. Ritsu mulai menangis ketakutan tapi tangisannya malah membuat tawa Hanao semakin menggila.

“Jika kalian bisa memenangkan permainanku, aku akan melepaskan kalian hidup-hidup.”, Hanao menatap lekat-lekat mata Ritsu. Ritsu menutup matanya, berusaha untuk tidak menatap monster di depannya.

“Permainan apa?! Berhentilah bermain-main dan cepat lepaskan kami!”, teriak Tomoe marah. Hanao melihat tajam ke arah Tomoe kemudian melepaskan rambut Ritsu yang ia jambak dengan kasar. Seketika itu juga ia berdiri di hadapan Tomoe dan menamparnya dengan keras. Pipi Tomoe merah padam dan dari mulutnya mengeluarkan darah. Hanao seketika itu menghilang dan muncul di tempat ia pertama kali menampakkan diri.

“Bila kalian menang, maka aku lepaskan. Bila kalian kalah, maka kematian akan menjemput kalian.”, kata Hanao tenang sambil memeluk boneka kelinci lusuhnya. Mereka bertiga bergidik ketakutan. Ritsu mulai menangis dengan keras sementara Tomoe mengerang marah. Akano hanya bisa menangis pasrah pada keadaan yang ia alami.

Hanao mendekat ke arah Akano dengan wajah sedih. “Oh, sahabatku. Jangan takut. Karena kau tak akan mati.”, katanya sambil menghapus air mata Akano. “Tapi kau akan jadi wadahnya.”, tubuh Akano terangkat naik oleh rantai yang membelenggu tangannya dan bergerak maju ke tengah-tengah tempat itu diiringi tawa mengerikan yang keluar dari mulut Hanao.

“A-apa ini? Apa yang akan kau lakukan padaku, Hanao? Tolong lepaskan aku, kumohon.”, Akano memohon pada Hanao sambil menangis. Hanao hanya melihatnya sambil terus tertawa.

“Lepaskan dia! Dasar kau bedebah!!”, teriak Tomoe marah.

“Lepaskan Akano! Lepaskan dia! Lepaskan kami!”, Ritsu menangis histeris.

Hanao berhenti tertawa tepat setelah tubuh Akano berada di tengah-tengah tempat itu. “Mari kita bersenang-senang.”, bibirnya membentuk sebuah seringai yang mengerikan.

Tiba-tiba sebuah meja yang terbuat dari tulang belulang dan daging manusia muncul di depan Tomoe dan Ritsu. Di meja itu terletak delapan buah anak panah kecil dengan simbol aneh yang berbeda di sisi anak panah itu. Kedua rantai yang memborgol mereka terlepas dari pergelangan tangan mereka.

“Ambillah satu dari delapan anak panah itu dan lemparkan ke bagian tubuh Akano yang kau mau. Anak panah itu memiliki simbol masing-masing yang melambangkan penyiksaan yang nantinya akan diterima oleh lawan kalian dibagian tubuh tempat anak panah itu mendarat.”, kata Hanao dengan tenang.

“Jika kalian ingin hidup, maka korbankan nyawa musuhmu.”, mereka berdua bergidik ketakutan, tidak berani mendekat untuk mengambil anak panah itu.

“Tidak, aku tidak akan melakukannya! Mana mungkin aku menyakiti dan membunuh sahabatku sendiri?”, kata Tomoe panik. Sebuah senyum menyeramkan tersirat di wajah Hanao.

“Mungkin kita mulai dari Ritsu.”, Hanao mempersilahkan Ritsu untuk maju ke podium yang ada di tengah-tengah mereka. Ritsu berdiri membatu sambil melihat ke anak-anak panah yang ada di meja itu. “Tidak mungkin Ritsu akan melakukannya. Benar ‘kan Ritsu?”, Tomoe menatap Ritsu dengan penuh harap.

“Ritsu, kau tidak akan melakukannya bukan?”, tanya Tomoe sekali lagi pada Ritsu. Ia hanya terdiam. Namun perlahan tangannya yang bergetar ketakutan menggenggam sebuah anak panah dengan simbol tali dan memandang kedua temannya secara bergantian.

“Maafkan aku, teman-teman. Aku harus keluar dari sini. Aku tidak mau mati.”, kata Ritsu lirih. “Maafkan aku, Akano.”, Ritsu memejamkan matanya sambil melempar anak panah itu ke tubuh Akano secara acak. Anak panah itu mendarat di betis kanan Akano diikuti rintihan kesakitan Akano. Darah segar mengalir keluar dari tusukan anak panah itu.

“Simbol tali, berarti ‘Tarikan’.”, kata Hanao tanpa melirik simbol yang ada di anak panah itu. Tiba-tiba sebuah tali tebal yang seperti terbuat dari gabungan urat nadi manusia mengikat kuat kaki kanan Tomoe. Tomoe berteriak ketakutan dan berusaha melepaskan jeratan tali itu. Tali itu kemudian menjalar dan mengikat kuat betis Tomoe dan menariknya hingga terputus. Tomoe berteriak kesakitan dan menangis histeris melihat betisnya tertarik putus dari sendi lututnya oleh tali menjijikkan itu. Darah segar membanjiri lantai tempat Tomoe tersungkur. Akano dan Ritsu hanya bisa menjerit dan menangis histeris melihat kejadian mengerikan itu berlangsung tepat di depan mata mereka.

“Apa yang kau lakukan padaku, Ritsu! Mengapa kau begitu tega?”, teriak Tomoe histeris. Ritsu hanya bisa menangis sambil mengucapkan maaf berulang-ulang.

“Hanao, tolong hentikan ini. Aku mohon Hanao, lepaskan kami.”, kata Akano lirih memohon pada Hanao. Hanao tertawa cekikikan.

“Berhenti? Kesenangan ini baru saja dimulai!”, teriak Hanao penuh kemenangan. Tomoe bangkit berdiri dengan susah payah, menatap penuh dendam ke arah Ritsu. Ia mengambil satu anak panah secara acak dan melemparkannya sekuat tenaga ke arah Akano. Anak panah itu mendarat tepat di bola mata kiri Akano. Akano hanya bisa menjerit kesakitan dan darah segar mengalir dari bola matanya yang tertancap anak panah dengan simbol trisula.

“Simbol trisula, berarti ‘Tusukan’.”, kata Hanao tenang. Ritsu mulai panik dan berusaha menutup matanya dengan tangan. Tiba-tiba tali menjijikkan itu keluar, mengikat dan menahan kedua tangan Ritsu. Ritsu meronta dengan sekuat tenaga agar tali itu terlepas tapi tali itu malah mencengkramnya lebih kuat. Sebuah trisula yang terbuat dari besi dengan ujung yang membara melayang mendekati mata Ritsu. Ritsu berusaha menutup matanya tapi kelopak matanya tertahan oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Trisula itu terayun dan menusuk bola mata kanan Ritsu yang membuatnya berteriak kesakitan dan mengalami kejang hebat. Darah mengalir turun dari mata kanan Ritsu bagaikan air. Trisula itu kemudian tertarik keluar bersama dengan bola mata Ritsu yang sudah tidak berbentuk lagi. Tali itu melepaskan cengkramannya pada tangan Ritsu dan menghilang dalam kegelapan, membiarkan Ritsu jatuh tergeletak lemas di lantai.

“A-apakah dia sudah mati?”, Tomoe melihat ke arah Ritsu, wajahnya dipenuhi ketakutan. Ritsu yang tergeletak lemas berusaha bangkit berdiri sambil memegangi bagian kanan wajahnya yang berlumuran darah. Ia menatap Tomoe dengan tatapan kosong yang membuat Tomoe bergidik takut. Kemudian tangannya menggapai salah satu anak panah dengan simbol pedang dan ia membidik anak panah tersebut ke tubuh Akano.

Permainan itu berlangsung singkat tapi bagaikan selamanya untuk Tomoe dan Ritsu. Tomoe bukan hanya kehilangan betis kirinya, ia juga kehilangan tangan kanannya dan setengah tangan kirinya. Perutnya pun terlihat seperti daging yang mencair karena cairan asam, memperlihatkan bagian dalam tubuhnya yang sedikit terburai keluar. Ajaibnya ia masih bisa bertahan walau dengan kondisi separah itu.

Ritsu juga tak berbeda jauh kondisinya dengan Tomoe. Ia sudah tak bisa berdiri karena kedua kakinya kehilangan semua otot yang bisa menopangnya untuk berdiri. Hanya tinggal tulang putih berbalut darah kering. Sisa ototnya berserakan di lantai berbentuk seperti irisan daging dan kulitnya tersayat terbuka dan menggantung di mata kakinya seperti sepatu boot yang setengah terpakai. Setengah wajahnya sudah seperti patung anatomi tubuh, tidak ada kulit yang membalutnya, bekasnya seperti habis tertarik paksa oleh tempatnya.

Walaupun tatapan mata Ritsu sudah hampir redup, tapi tangan kirinya menggenggam erat panah terakhir yang ia punya. Dengan tenaga terakhirnya ia berusaha bangkit dan melemparkan anak panah terakhirnya ke tubuh Akano yang dipenuhi anak panah yang tertancap di tubuhnya.

Anak panah itu tepat mendarat di dada kiri Akano dibarengi dengan rintihan kesakitan Akano. “Simbol tangan.”, sebuah senyum mengerikan tersirat di wajah Hanao. Ia mulai mendekati Tomoe yang tergeletak lemah di lantai, mencengram lehernya dengan tangannya yang kurus dan mengangkat tubuh Tomoe seperti mengangkat sebuah boneka.

“Berarti ‘Cengkraman’.”, kata Hanao sambil menusukkan tangannya ke arah dada kiri Tomoe dan mencengkram keluar jantungnya. Mata Tomoe terbelalak, melihat jantungnya tertarik keluar dan perlahan berhenti berdetak. Ia melihat ke arah Hanao yang tersenyum lebar, perlahan tatapan matanya meredup dan pupil matanya melebar.

“Dia mati?”, tanya Ritsu dengan lemas. Hanao melemparkan tubuh Tomoe yang sudah tidak bernyawa ke dalam lautan belerang yang meletup-letup di bawah mereka. Tubuh Tomoe meleleh, menyatu dengan cairan belerang yang perlahan menelannya masuk ke dalam.

“T-Tomoe.. Tidak.. Ritsu, kau telah membunuhnya!”, teriak Akano histeris. Ritsu tertawa, perlahan tertawanya semakin nyaring terdengar.

“Aku menang!”, teriaknya dengan penuh kebahagiaan. “Aku me-“, tiba-tiba Hanao mencengkram leher Ritsu dengan kuat dan tersenyum lebar padanya.

“Selamat atas kemenanganmu. Sesuai janjiku, aku akan memberi kebebasan padamu.”, perlahan tangan Hanao terangkat dan seketika menghujam tepat ke arah dada kiri Ritsu. Mata Ritsu terbelalak, mulutnya terbuka dan mengeluarkan darah hitam bersamaan dengan Hanao menarik tangannya dari dadanya. Hanao membuang begitu saja mayat Ritsu ke dalam lautan belerang seperti barang rongsokan.

Tawa mengerikan Hanao meledak memenuhi ruangan itu. Akano mulai menangis histeris melihat kedua sahabatnya mati dengan cara menggenaskan. “Hanao lepaskan aku! Lepaskan!”, teriaknya histeris sambil meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari rantai yang membelenggu tangannya. Beberapa anak panah yang menusuk tubuhnya terlepas saat ia meronta, jatuh dan menghilang ke dalam lautan belerang.

Hanao berhenti tertawa, menatap Akano dan melayang ke arahnya. Hanao mengelus pipi Akano yang dipenuhi darah dan air mata. “Tenanglah Akano, jangan menangis. Aku akan membuatmu merasakan sedikit rasa sakit.”, Hanao tersenyum jahat dan tiba-tiba sepasang rantai muncul dari dalam lautan belerang dan mengikat kedua kaki Akano. Akano menjerit kesakitan, kakinya yang terikat rantai itu terasa seperti meleleh.
Akano menangis ketakutan, memohon kepada Hanao untuk membiarkannya tetap hidup. Hanao hanya diam, tersenyum menatapnya sambil memeluk boneka kelincinya. Rantai-rantai yang mengikat Akano mulai merenggang, menarik tangan dan kakinya secara perlahan.

“Jangan, Hanao. Kumohon, ampuni aku. Tolong jangan bunuh aku.”, kata Akano sambil menangis. Rantai itu semakin menarik tangan dan kaki Akano membuat Akano berteriak kesakitan.

“Sampai jumpa di kematian, Akano.”, seketika itu juga tubuh Akano tertarik dan terbelah dua. Mata Akano masih terbelalak, bagian dalam tubuhnya terburai keluar dan tergantung-gantung bagaikan tali berlendir. Rantai itu melepas belenggunya dan tubuh Akano terjatuh bebas masuk ke dalam lautan belerang panas, mengeluarkan suara desisan dan asap yang menggepul. Cairan itu perlahan menelan tubuhnya masuk ke dalam.

====

“Tiga orang siswi SMA Kagaku menghilang secara misterius di dalam sekolah. Saksi menyebutkan mereka terakhir terlihat di dalam UKS sekolah dan tidak pernah terlihat lagi. Ketiga siswi itu bernama Ritsu Takao, Akano Mitsuhiro, dan Tomoe Futaba. Belum diketahui pasti penyebab hilangnya ketiga siswi tersebut. Polisi masih mencari dan melacak keberadaan ketiga siswi ini.”, terdengar suara televisi dimatikan.

“Kira-kira, permainan apa lagi yang akan kau mainkan?”, Death melempar remot televisi ke arah dinding hingga hancur. Terdengar tawa kecil dari sudut gelap suatu ruangan.

“Kira-kira, siapa lagi yang akan memainkan permainanku?”, tanya suara itu kembali pada Death.

“Apa kau tak berencana untuk kembali ke neraka? Menemani ketiga sahabatmu?”, Death menatap ke sudut gelap itu. Samar-samar terlihat Hanao berjalan pelan keluar dari kegelapan sambil memeluk boneka kelincinya. Senyum sumringahnya yang menyeramkan menghiasi wajahnya.

“Apa kau tak berencana untuk menambah persembahanmu? Menemani ketiga sahabatku?”, tanya Hanao kembali pada Death. Tiba-tiba terdengar suara bentakan marah beberapa gadis, disusul dengan suara tendangan berkali-kali yang berasal dari gang kecil di luar ruangan itu. Samar-samar terdengar suara tangisan kecil diantara teriakan marah gadis-gadis itu.

Death tersenyum, tentakel-tentakel merahnya menjalar keluar dari bawah gaun putihnya, memenuhi ruangan itu. Perlahan ruangan itu dipenuhi aura kegelapan dari tentakel-tentakel Death.

“Sepertinya itu ide yang bagus.”, seringai Death terlihat dibalik kegelapan.


“Sepertinya itu ide yang sangat bagus.”, Hanao tertawa kecil, terdengar sangat menikmati permainan yang akan mereka lakukan sebentar lagi.

-END